JAMBI, Kompas Kehilangan hutan sebagai sumber penghidupan telah melahirkan fenomena baru di kalangan Orang Rimba di ekosistem Bukit Duabelas, Jambi. Denda adat dipakai jadi sumber pencarian baru untuk bertahan hidup.
Antropolog Orang Rimba Robert Aritonang mengatakan, faktor ekonomi jadi penyebab maraknya penerapan denda adat. Ia menduga fenomena itu terjadi karena hutan tidak bisa lagi dijadikan sebagai sandaran hidup Orang Rimba.
”Kehilangan hutan membuat mereka kehilangan sumber penghidupan,” katanya, Kamis (21/6/2018).
Ia juga mendapati kesalahan yang sama, kini ada kecenderungan Orang Rimba mengenakan denda adat jauh lebih besar nilainya dibandingkan pada waktu-waktu sebelumnya. Orang Rimba mulai melihat besaran denda yang berlaku pada masa lalu tak lagi berefek jera pada masa ini.
Pelanggaran adat malah sering terjadi. Hal ini membuat denda sering kali diperberat hingga maksimal agar lebih memberi efek jera kepada pelanggar adat. Hal itu dikatakannya terkait konflik antara Orang Rimba kelompok Pasir Putih di Kabupaten Bungo dan kelompok Nalo Tantan di Kabupaten Merangin.
Konflik di antara kedua kelompok dalam komunitas adat yang menempati ekosistem hutan Bukit Duabelas, Jambi, itu berlangsung sejak 2016. Tahun lalu, kedua belah pihak membuat kesepakatan bersama secara tertulis.
Isinya, jika salah satu pihak kembali melakukan pelanggaran, haruslah membayar denda senilai dua kali lipat dari sebelumnya. Sebelum itu, kelompok Pasir Putih telah melakukan pelanggaran dan terkena denda Rp 20 juta. Kali ini, Kelompok Nalo Tantan yang menghina warga Pasir Putih dituntut membayar denda adat dengan besaran dua kali lipat menjadi Rp 40 juta.
Namun, belum lagi denda dibayar, Orang Rimba dari Nalo Tantan melarikan diri. Hal itu menyebabkan kemarahan kelompok Pasir Putih. Mereka menyambangi Markas Kepolisian Sektor Pelepat, Bungo, untuk meminta aparat polisi menangkap Ilham, warga Nalo Tantan yang melanggar adat.
Peristiwa itu berbuntut penembakan oleh aparat hingga melukai lima Orang Rimba (Kompas/21/6/2018).
Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Rudi Syaf mengatakan, perlu melihat akar masalah sesungguhnya di balik konflik tersebut.
Menurut dia, dalam survei 10 tahun silam, pihaknya sudah mengingatkan pemerintah mengenai hancurnya kehidupan Orang Rimba karena kehilangan hutan. Hutan hunian mereka kini telah berubah menjadi kebun sawit milik korporasi.