PALANGKARAYA, KOMPAS — Masyarakat adat tidak cukup hanya diakui oleh negara, tetapi juga harus dilindungi dan diberdayakan. Tak harus menunggu Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat selesai dibahas dan disahkan, tetapi dengan memberikan hutan adat, masyarakat adat diberdayakan.
Hal itu diungkap gubernur Kalimantan Tengah dua periode (2005-2015), Agustin Teras Narang, dalam pertemuan Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi, Komisi Keadilan dan Perdamaian Pastoral Migrant Perantau, serta Caritas Gereja Katolik se-Kalimantan dalam tema ”Gerakan Kalimantan Baru”. Kegiatan itu dilaksanakan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sejak Selasa (19/6/2018) sampai Kamis (21/6/2018).
”Harus diberdayakan juga, tidak cukup hanya diakui. Masyarakat adat harus dilindungi haknya dan diberdayakan supaya nilai budaya juga terjaga dan masyarakat adat bisa sejahtera,” ungkap Teras Narang yang juga pernah menjabat Presiden Majelis Adat Dayak Nasional periode 2010-2015.
Penantian panjang menunggu RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (PPHMA) memang memakan waktu. Namun, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan perhutanan sosial dan mengakomodasi hutan adat untuk masyarakat adat.
Meskipun demikian, belum ada 1 hektar pun hutan adat yang sudah disahkan pemerintah di Kalteng. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, dari target perhutanan sosial seluas 1,5 juta hektar tahun 2019, baru 77.560 hektar perhutanan sosial yang sudah terealisasi. Rinciannya, hutan desa seluas 45.020 hektar, hutan tanaman rakyat seluas 24.799 hektar, dan hutan kemasyarakatan seluas 7.741 hektar.
”Ini perjuangan yang tidak boleh berhenti, bagaimanapun masyarakat adat harus tetap bisa sejahtera,” ucap Teras Narang.
Direktur Justice, Peace, and Integrated of Creation Kalteng Frans Sani Lake mengungkapkan, hutan adat merupakan hak masyarakat adat. Masyarakat adat merupakan entitas tak tergantikan sehingga dengan hutan adat, kearifan dan pengetahuan lokal bisa terjaga.
”Pengetahuan lokal merupakan keunikan masyarakat adat Dayak dalam memelihara alam, lingkungan yang raham dan berkelanjutan,” ujarnya.
Frans juga mengungkapkan, pemberdayaan masyarakat adat harus bertumpu pada pengetahuan lokal. Hal itu tidak menolak atau bertubrukan dengan pengetahuan modern.
”Cara orang Dayak menjaga hutan dan tanah punya keunikan tersendiri, bagaimana mereka menjaga lahannya tidak terbakar, pembagian hak tanah dan hal lain, ini yang harus dijaga,” katanya.
Pemerintah, lanjut Frans, seharusnya memelihara pengetahuan lokal tersebut, bukan justru melarangnya. ”Sementara pemodal dibiarkan membabat hutan secara masif dan merusak tanah,” ucapnya.
Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Hutan Adat Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Wisan saat ditemui di ruang kerjanya mengatakan, pihaknya sudah membentuk tim kerja untuk percepatan pembentukan perhutanan sosial bersama pemerintah di kabupaten.
”Kendalanya di koordinasi dan sosialisasi juga, masih banyak masyarakat belum mengetahui pasti soal perhutanan sosial,” kata Wisan.
Dayak Misik
Pada tahun 2015, pemerintah daerah membentuk Kelompok Tani Dayak Misik yang bertujuan untuk membela hak masyarakat adat. Kelompok atau lembaga itu sebenarnya diperkuat dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalteng.
Dalam program tersebut, setiap kelompok tani mendapatkan hak dan sertifikat tanah seluas 5 hektar. Namun, program tersebut tidak berjalan sampai saat ini.
”Program itu merupakan upaya pemerintah untuk mengakui masyarakat adat sebelum adanya program-program lain,” ujar Teras Narang.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.