Petani di sejumlah sentra pertanian di Jawa Tengah meminta penerapan Kartu Tani Indonesia dikaji ulang. Distribusi kartu tani sebagai syarat pembelian pupuk bersubsidi belum merata. Akibatnya, penerapan penggunaannya di lapangan belum optimal.
Oleh
Winarto Herusansono
·3 menit baca
DEMAK, KOMPAS — Petani di sejumlah sentra pertanian di Jawa Tengah meminta penerapan Kartu Tani Indonesia dikaji ulang. Distribusi kartu tani sebagai syarat pembelian pupuk bersubsidi belum merata. Akibatnya, penerapan penggunaannya di lapangan belum optimal.
Petani yang mendesak kaji ulang kartu tani antara lain berasal dari Kabupaten Demak, Kendal, Grobogan, dan Blora.
”Tujuan penerapan kartu tani untuk menertibkan distribusi pupuk bersubsidi supaya tidak jatuh ke orang yang tidak berhak. Tetapi, pada praktiknya justru sangat merepotkan karena membuat petani tidak bisa membeli pupuk eceran,” ujar Ahmad Soleh (67), petani di Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak, Kamis (21/8/2018).
Petani lain di Kecamatan Wedung, Demak, Darsono (60), menuturkan, penerapan kartu tani telah menimbulkan diskriminasi dalam memperoleh pupuk bersubsidi. Distributor pupuk bersubsidi hanya melayani petani yang sudah memiliki kartu tani. Padahal, belum semua petani di Wedung mendapatkan kartu tani.
Petani di Kecamatan Brangsong, Kendal, Arifin (58), mengatakan, kesulitan membeli pupuk bersubsidi mulai dirasakan sejak akhir Maret. Akibat informasi bahwa petani sudah mendapat kartu tani, pengecer mensyaratkan petani yang hendak membeli pupuk bersubsidi agar membawa surat pengantar dari perangkat desa atau lurah.
”Kalau ada surat pengantar dari desa, petani boleh membeli pupuk bersubsidi. Kebijakan ini merepotkan. Terlebih, belum semua petani memperoleh kartu tani. Petani yang memperoleh kartu tani biasanya anggota kelompok tani yang syarat kepemilikan lahan pertaniannya lebih dari sebahu atau 7.000 meter persegi,” tutur Arifin.
Di Brangsong, misalnya, jumlah petani gurem dengan kepemilikan lahan di bawah 0,4 hektar lebih banyak daripada petani dengan lahan luas.
Arifin menyebutkan, petani dengan lahan garapan berkisar 2.000-4.000 meter persegi tentu tidak membutuhkan pupuk bersubsidi dalam jumlah banyak atau lebih dari 100 kilogram.
”Ini dilematis. Sebab, sejak kartu tani diluncurkan pertengahan 2017, para pengecer dan distributor pupuk di tingkat kecamatan sudah dilarang menjual pupuk bersubsidi dalam kemasan eceran,” ujar Arifin.
Pengurus Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kabupaten Grobogan Edy Purwanto menyarankan, pemerintah agar lebih fokus pada peningkatan produksi hasil panen untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Salah satunya, dengan menahan laju alih fungsi lahan pertanian.
Adapun persoalan terkait penerapan kartu tani, menurut dia, terjadi karena belum ada data luas lahan petani yang benar-benar terintegrasi dan valid. Semestinya, saat petani memperoleh kartu tani, kuota kebutuhan pupuk sudah terdata jelas.
”Persoalan akan muncul ketika data luas lahan petani tidak sesuai dengan fakta. Masalah lain, jika dia belum memiliki kartu tani karena hanya sebagai buruh tani atau petani penggarap, bukan pemilik lahan. Ketika data lahan pertaniannya tidak sesuai, kekurangan pupuk bersubsidi harus dipenuhi melalui pembelian pupuk nonsubsidi,” tutur Edy.
Harga pupuk nonsubsidi jenis urea mencapai Rp 3.900 per kilogram atau dua kali lipat lebih dari yang bersubsidi sekitar Rp 1.800 per kilogram.
Kepala Biro Infrastruktur dan Sumber Daya Alam Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Tengah Peni Rahayu mengatakan, kartu tani merupakan program paling efektif untuk menjamin distribusi barang subsidi, termasuk pupuk, kepada petani. Program kartu tani ini menjamin pupuk bersubsidi tepat sasaran, yakni bagi petani, penggarap, dan penyewa lahan pertanian di bawah 2 hektar, sesuai Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok yang diusulkan kelompok tani.