Taruhan Nyawa Pelayaran di Toba
Perairan Danau Toba sesungguhnya sumber hidup masyarakat setempat. Danau itu juga menjadi urat nadi mobilisasi manusia dan barang. Namun, keselamatan pelayaran masih terabaikan.
Pelayaran tradisional menjadi tulang punggung transportasi dan perekonomian masyarakat di sekitar Danau Toba. Setiap hari, ratusan kapal kayu berlayar dari dan menuju Pulau Samosir, Sumatera Utara. Ribuan warga mempertaruhkan nyawa dalam kapal kayu yang sama sekali tidak mempertimbangkan keselamatan.
Salah satu rute paling menakutkan di Danau Toba adalah pelayaran dari Pelabuhan Tigaras di Kabupaten Simalungun ke Pelabuhan Simanindo di Kabupaten Samosir. Di rute ini, Kapal Motor (KM) Sinar Bangun, yang diperkirakan membawa penumpang lebih dari 200 orang, tenggelam, Senin (18/6/2018) sore. Hingga kemarin, baru 22 orang ditemukan, dengan tiga korban di antaranya tewas. Sebanyak 184 lainnya masih hilang.
Novita Sari Habeahan (25), warga Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, adalah salah seorang warga yang cukup sering berlayar pada rute maut tersebut. ”Meskipun pelayarannya hanya sekitar satu jam, pelayaran ini cukup menakutkan karena angin kencang dan ombak tinggi yang cukup sering menerjang,” kata Novita di Pelabuhan Tigaras.
Novita sebenarnya menyadari betapa tingginya risiko yang dihadapi setiap menyeberang dari Tigaras ke Simanindo. Namun, ia harus tetap menggunakan kapal kayu karena tak ada pilihan transportasi lain. Setiap akhir pekan, ia harus pergi pulang dari kampungnya di Simalungun ke sekolah tempat dia mengajar di Samosir.
Tanpa pengawasan
Kesemrawutan pelayaran tradisional di Danau Toba bisa langsung dilihat ketika masuk ke pelabuhan. Semua orang bisa masuk ke pelabuhan hingga ke kapal tanpa ada pengawasan dari petugas. Berapa pun jumlah penumpang yang masuk ke kapal tidak pernah dihitung nakhoda atau anak buah kapal. Para penumpang juga tidak diberi tiket atau bukti pembayaran apa pun.
Kapal tradisional pun bisa berangkat dari pelabuhan kapan pun. Tak perlu ada izin dari syahbandar atau otoritas pemerintah mana pun. ”Berapa banyak penumpang atau barang di dalam kapal, tidak ada yang peduli,” kata Novita.
Di pelabuhan sebenarnya ada petugas dinas perhubungan kabupaten setempat. Namun, mereka hanya bertugas mengutip uang Rp 1.000 per sepeda motor untuk retribusi pelabuhan.
Anak buah kapal baru mengutip ongkos Rp 8.000 per orang ketika kapal sudah berlayar. Penumpang yang membawa sepeda motor juga harus membayar Rp 8.000 per sepeda motor. Namun, tidak ada tiket atau tanda pembayaran yang diterima penumpang. Nakhoda kapal pun tak punya daftar penumpang atau manifest.
Itu juga yang membuat hingga kini tidak ada yang tahu berapa persisnya jumlah penumpang KM Sinar Bangun. Jumlah korban hilang hanya diperkirakan berdasarkan laporan warga yang kehilangan anggota keluarga yang berlibur ke Samosir.
Di perairan Danau Toba beroperasi minimal 100 kapal rakyat. Kapal-kapal kayu itu memiliki kapasitas yang bervariasi, berkisar dari 5 GT hingga 35 GT dengan waktu operasi mulai pagi hingga petang. Sementara kapal feri hanya dua unit, yakni kapal motor penyeberangan (KMP) Sumut I dan II. Kapal feri dikelola PT Pembangunan Prasarana Sumatera Utara merupakan BUMD Provinsi Sumut. Hanya kapal feri yang menggunakan tiket.
Ketiadaan tiket itu malah membuat operator kapal berusaha menarik penumpang untuk diangkut. ”Akhirnya, muatan tak sebanding dengan kapasitas, terutama saat musim-musim liburan. Sepada motor juga dideretkan di bagian sisi serta dalam kapal,” kata R Simarmata (41), warga Simanindo.
Manalu (48), warga Samosir, mengakui penyelenggaraan pelayaran seperti itu telah berlangsung lama, tetapi tak ada penertiban. ”Kami berharap ini segera dibenahi. Penumpang kapal harus diberi tiket. Harus ada manifesnya,” kata Manalu.
Pemilik kapal kayu Romauli, Jonnel Sinaga, enggan berbicara banyak. Menurut dia, tidak setiap saat kapal kayu miliknya mengangkut penumpang yang banyak. ”Tergantung musimnya, kalau musim libur panjang bisa 40 orang, kalau hari biasa paling 10-15 orang. Pelampung kami sediakan 40 buah, seperti yang diberikan Dinas Perhubungan. Tapi saya, kan, hanya pemilik, yang lebih tahu yang ngurus di sana (dermaga),” ucap Jonnel.
Saling lempar
Osner Sinaga (41) mengatakan, kapal tradisional di Danau Toba juga menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat. Warga Samosir biasanya menjual bawang, mangga, dan ikan ke Tigaras. Sebaliknya, warga dari Tigaras menjual beras, ikan laut, gula, tuak, dan bahan pokok lainnya ke Samosir. Selain menjadi transportasi warga, kapal-kapal kayu itu juga menjadi angkutan utama wisatawan ke Samosir.
”Namun, hampir di semua kapal tidak ada peralatan keselamatan. Kalaupun ada pelampung, jumlahnya hanya sekitar 10 buah. Sementara kapal bisa membawa penumpang hingga 200 orang,” katanya.
Kepala Dinas Perhubungan Pemerintah Kabupaten Samosir Nurdin Siahaan mengakui selama ini memang tidak ada pengawasan pada pelabuhan-pelabuhan di Samosir. Kapal bisa berangkat kapan saja tanpa harus meminta izin dari otoritas pelabuhan. Pengawasan kapal berukuran 7 GT ke atas adalah wewenang pemerintah provinsi.
Selain soal pembagian wewenang, kata Nurdin, mereka juga tidak bisa melakukan pengawasan di semua pelabuhan karena terkendala anggaran dan keterbatasan personel. ”Petugas kami hanya sekitar 43 orang untuk mengurus pelayaran dan transportasi darat. Bagaimana kami mau mengawasi semua pelabuhan yang jumlahnya sangat banyak,” katanya.
Bupati Simalungun JR Saragih juga mengakui selama ini belum melakukan pengawasan terhadap kapal-kapal yang beroperasi di Toba. Pembagian wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah provinsi dan kabupaten juga belum jelas.
”Banyak hal perlu segera dibenahi. Kami siap duduk bersama untuk evaluasi dan melakukan pembenahan,” ujarnya.
Kepala Bidang Lalu Lintas Dishub Provinsi Sumut Darwin Purba menyadari ada banyak hal yang perlu diperbaiki dalam tata kelola pelayaran di Danau Toba. Izin berlayar kapal selama ini dikeluarkan Pemprov Sumut, tetapi pengawasan sehari-hari seharusnya di kabupaten.
Lebih lanjut Nurdin Siahaan mengatakan, terkait pengawasan, termasuk mengenai kelebihan penumpang, merupakan kewenangan Dinas Perhubungan Provinsi. Itu mengacu pada regulasi yang mengatur penyelenggaraan pelayaran di danau.
”Yang jelas, ini akan menjadi pembelajaran dan evaluasi bersama. Selain koordinasi dengan Dishub Provinsi, juga akan ditingkatkan edukasi bagi masyarakat agar tak memaksakan naik kapal saat kapal sudah penuh,” ujar Nurdin.
Apa pun alasannya, tetapi jelas terlihat pemerintah daerah belum serius membenahi persoalan pelayaran rakyat di Danau Toba. Provinsi dan kabupaten masih lempar tanggung jawab. Padahal, sudah berkali-kali pelayaran di Danau Toba memakan korban.