Warga Binaan di Pesta Demokrasi Lokal
SIDOARJO, KOMPAS — Pergelaran pesta demokrasi pemilihan gubernur Jatim tinggal dua hari lagi. Beragam persiapan pelaksanaan pencoblosan pun hampir tuntas. Namun, bagi sebagian warga, pergelaran lima tahunan itu mungkin tak lebih dari sebuah tontonan, tanpa mampu berpartisipasi, apalagi menikmatinya.
Salah satu kelompok yang berpotensi tinggi menjadi penonton adalah warga binaan lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan). Meski secara kuantitatif potensi pemilih pada warga binaan ini besar, yang terakomodasi hak suaranya sangat minim.
Sebagai gambaran jumlah warga binaan penghuni lapas dan rutan di bawah naungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kanwil Jatim per 21 Juni 2018 sebanyak 17.448 orang (sumber data Sistem Database Pemasyarakatan). Dikurangi 296 warga binaan yang berusia anak-anak, berarti ada 17.000 lebih warga binaan berusia dewasa yang berpotensi memiliki hak pilih.
Dari 17.000 warga binaan potensial pemilih itu, mayoritas atau lebih dari 34 persennya berada di Sidoarjo. Hal itu karena Sidoarjo memiliki dua lapas, yakni Lapas Kelas I Surabaya di Porong dan Lapas Kelas II A Sidoarjo, serta Rutan Kelas I Surabaya di Medaeng. Total jumlah warga binaannya saat ini 6.070 orang.
Dari 6.070 warga binaan itu, kurang dari 30 persen atau sepertiganya yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pilgub Jatim 2018. Artinya, hanya sebagian kecil yang memiliki akses untuk menyalurkan hak politiknya. Sebanyak 70 persen lainnya atau duapertiga warga binaan di Sidoarjo kehilangan kesempatan menggunakan hak politiknya.
Kepala Lapas Kelas I Surabaya di Porong Pargiyono mengatakan, dari 2.506 warga binaan penghuni lapas, hanya 200 orang atau 7 persen yang bisa menggunakan hak pilihnya dalam Pilgub Jatim. Sebanyak 2.300 lainnya tak bisa menggunakan hak politiknya karena terbentur regulasi.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengamanatkan penyusunan daftar pemilih berbasis kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) atau surat keterangan KTP-el. Pemilih yang belum memiliki dokumen kependudukan tidak bisa diakomodasi dalam daftar pemilih.
Di Lapas Kelas II A Sidoarjo kondisinya juga sama. Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Lapas Sidoarjo Mufakhom mengatakan, dari 904 warga binaan, hanya 471 atau 52 persen yang terdaftar dalam DPT. Upaya yang dikerahkan untuk memperjuangkan agar warga binaan tak kehilangan hak politiknya sudah maksimal.
”Petugas lapas menelusuri identitas warga binaan ini dengan cara mencocokkan data yang dimiliki Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sidoarjo. Mereka yang memiliki KTP-el atau pernah merekam data diri, nomor identitasnya akan keluar,” ujar Mufakhom.
Kondisi warga binaan saat masuk lapas, lanjut Rudi, berbeda-beda. Kebanyakan mereka tak membawa kartu identitas dan saat ditanyakan nomor induk kependudukannya pun tidak hafal. Hal itu bisa dimaklumi sebab tidak lazim menghafalkan nomor identitas kependudukan di negeri ini. Berbeda dengan nomor telepon genggam yang mudah dihafal.
Rawan konflik
Mufakhom menambahkan, permasalahan penyaluran hak politik bagi warga binaan lapas dan rutan baru terjadi kali ini. Dalam pesta demokrasi sebelumnya, setiap warga yang berpotensi menjadi pemilih bisa memberikan haknya dengan berbekal surat keterangan dari kepala lapas yang menyatakan bahwa mereka memang warga binaannya.
Mengingat jumlah warga binaan yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya jauh lebih besar dibandingkan yang memiliki akses, pihaknya memprediksi beragam hal yang berpotensi menciptakan kerawanan. Apalagi Lapas Sidoarjo menyelenggarakan tempat pemungutan suara (TPS) sendiri yang berlokasi di dalam lapas.
Masih menurut Mufakhom, untuk mengakomodasi hak suara 471 warga binaan yang terdaftar sebagai pemilih tetap Pilgub Jatim 2018, didirikan dua TPS, yakni TPS 23 dan 24. Kedua TPS ini akan menjadi cermin pelaksanaan pesta demokrasi lokal di dalam lapas di Indonesia. Sebab akan dikunjungi oleh peserta Election Visit Program yang berasal dari lembaga pemilihan umum luar negeri, perwakilan kedutaan besar negara-negara sahabat, serta lembaga swadaya masyarakat.
Ketua KPU Sidoarjo Zaenal Arifin, Senin (25/6/2018), mengatakan, selain diwajibkan memiliki KTP-el, warga binaan yang menggunakan hak pilihnya harus menunjukkan formulir A5 dari daerah asal. Ketentuan itu berlaku bagi warga binaan yang berasal dari luar Sidoarjo. Pengurusan formulir A5 bisa dilakukan keluarga warga binaan.
Zaenal menambahkan, proses pencoblosan di dalam lapas dan rutan menjadi salah satu fokus perhatian sebab rawan menyebabkan terjadinya konflik. Penyebabnya banyak warga binaan yang tidak bisa menggunakan hak suaranya sehingga berpotensi melakukan protes. Oleh karena itu pengamanan ditingkatkan melalui kerjasama dengan kepolisian dan pengelola lapas.
Hukuman penjara tidak seharusnya mengebiri hak politik masyarakat, kecuali bagi terpidana yang dicabut hak politiknya. Sebab warga binaan yang sedang menjalani sanksi sebagai konsekuensi atas perbuatannya, juga berhak memberikan andil dalam pembangunan di daerahnya dengan cara memberikan hak suaranya pada saat pemilihan kepala daerah.
Sidoarjo sejatinya hanya potret kecil pelaksanaan pesta demokrasi lokal di Indonesia. Pilkada serentak gelombang ketiga 2018 ini diikuti 567 pasangan calon yang berkontestasi di 171 daerah, terdiri dari 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Perhelatan lokal ini melibatkan 151 juta orang yang berhak memilih atau 80 persen dari total pemilih yang masuk Daftar Pemilih Sementara (DPS) pemilu 2009 yang berjumlah sekitar 186,3 juta orang.