Rabu, 27 Juni 2018, saatnya rakyat Jawa Timur memilih dan menentukan gubernur untuk periode 2019-2023. Tak kurang dari 30 juta suara mewakili 42 juta jiwa rakyat Jatim yang tersebar di 38 kabupaten/kota menentukan siapa nakhoda kapal provinsi seluas 47.922 kilometer persegi ini untuk jabatan lima tahun ke depan.
Ada dua pasang calon gubernur dan wakil gubernur yang bertarung pada pilkada serentak 2018 ini. Mantan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa berpasangan dengan Bupati Trenggalek Emil Elestianto Dardak. Pasangan nomor urut 1 ini diusung oleh koalisi partai politik pemilik 42 kursi di DPRD Jatim, yakni Demokrat (13), Golkar (11), PAN (7), PPP (5), Nasdem (4), dan Hanura (2).
Pasangan nomor urut 2 adalah Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf berpasangan dengan anggota DPR Puti Guntur Soekarno. Pasangan nomor urut 2 itu diusung oleh koalisi mayoritas parlemen provinsi pemilik 58 kursi, yakni PKB (20), PDI-P (19), Gerindra (13), dan PKS (6).
Pada pilkada serentak, selain memilih gubernur dan wakilnya, di provinsi ini juga ada 18 pemilihan bupati dan wali kota. Pemilihan bupati dilakukan di Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Tulungagung, Bojonegoro, Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, Bondowoso. Sementara pemilihan wali kota terselenggara di Mojokerto, Probolinggo, Malang, Madiun, dan Kediri.
Data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) di Jatim tercatat 30.747.387 jiwa dan terdiri dari 15.540.694 pemilih perempuan dan 15.206.693 pemilih laki-laki atau 49 persen. Dari segi jender, antara perempuan dan laki-laki nyaris berimbang. Dari jumlah ini, sebanyak 6,2 persen adalah pemilih pemula pada pemilihan gubernur atau sebanyak 1.863.770 pemilih pemula.
Berdasarkan pengelompokan usia pemilih, ada delapan kelompok, yakni usia di bawah 17 tahun yang sudah nikah (14-16 tahun) sebanyak 719 pemilih, usia 17-25 tahun (4.927.761 jiwa), usia 25-30 tahun (2.953.168), usia di atas 30-40 tahun (6.448.581), usia di atas 40-50 tahun (6.264.910), usia di atas 50-60 tahun (5.116.669), usia di atas 60-70 tahun (3.076.622), dan pemilih berusia di atas 70 tahun (1.958.957).
Minggu (24/6/2017) mulai memasuki masa tenang sebelum pilkada berlangsung. Sebelumnya, 5 Februari hingga 23 Juni 2018, semua pasangan berkampanye ke segala penjuru wilayah di Jatim, dari Pacitan hingga Banyuwangi.
Selama kampanye, kedua pasangan calon setiap hari bergerilya paling tidak di tiga tempat. Pola atau gaya kampanye kedua pasangan beda tipis atau boleh dikatakan mirip, yakni mendatangi pedagang di pasar tradisional, buruh pabrik, serta berbagai kelompok dan komunitas. Bahkan, sepanjang musim kampanye nyaris tidak ada kampanye akbar di gedung atau lapangan terbuka.
Seperti diungkap Seno Bagaskoro (18) dari Aliansi Pelajar Surabaya mengenai penyelenggaraan pilkada, umumnya masyarakat, terutama pelajar yang sudah memiliki hak pilih, cenderung cuek. Seperti muncul gelombang apatisme politik terutama dari pemilih pemula karena program setiap pasangan calon sama-sama tidak terdengar gaungnya hingga telinga pemilih pemula.
”Gaya kampanye pasangan calon juga tidak seru, bahkan nyaris tak terdengar hingga bangku sekolah. Kemungkinan juga karena kedua pasangan calon memiliki latar belakang dan basis sama. Jadi, yang digarap, ya, kelompok atau komunitas di sekitar itu,” tutur Seno.
Menurut Seno, pelajar SMA/SMK yang sudah memiliki hak suara bahkan tidak diajak untuk merumuskan mau membangun daerah ke arah mana. ”Jatim ini luar biasa kaya karena banyak komoditas justru surplus, jadi jangan sampai salah memilih sosok gubernur untuk lima tahun ke depan,” lanjuntya.
Anak-anak muda, terutama pemilih pemula, sangat suka dengan hal baru dan dengan senang hati kalau dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Menurut pelajar SMA Negeri 5 Surabaya ini, keterlibatan pelajar terutama pemilik suara yang notabene berasal dari generasi Z dan milenial perlu karena setiap keputusan yang diambil harus menyesuaikan dengan kekinian.
”Anak-anak muda, terutama pemilih pemula, sangat suka dengan hal baru dan dengan senang hati kalau dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan,” ucapnya.
Sementara pola yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menjaring pemilih agar beramai-ramai ke tempat pemungutan suara (TPS) saat pilkada, termasuk ke kampus, dinilai kurang efektif. Hampir semua kampus mendapat kunjungan KPU untuk menyosialisasikan penyelenggaraan Pilgub Jatim.
Pendekatan budaya
Di luar pelajar, mahasiswa, dan karyawan di berbagai sektor, masyarakat di Jatim juga memiliki persebaran kultural yang meliputi wilayah Mataraman, Jawa Arek, dan Tapal Kuda, termasuk Madura. Pendekatan terhadap setiap kelompok masyarakat ini tidak bisa disamakan, tetapi disesuaikan dengan karakter dan budaya masing-masing.
Provinsi ini benar-benar kaya, dan hampir banyak hal, terutama ketahanan pangan, dengan kekuatan APBD 2018 mencapai Rp 30 triliun, merupakan andalan di tingkat nasional. Kontribusi pangan untuk nasional dari beras, gula, dan daging sapi rata-rata 30-40 persen.
Meski sudah menjadi pemasok utama komoditas untuk nasional seperti beras, gula dan daging sapi, bawang merah, dan garam setiap tahun masih surplus. Di balik kekayaannya, masih ada banyak persoalan yang menghadang, antara lain kemiskinan, pengangguran, dan persoalan terkait kesejahteraan rakyat.
Untuk itu, mari rakyat Jatim ringankan langkah menuju TPS. Satu suara sangat berarti untuk memilih gubernur Jatim yang akan menjabat lima tahun ke depan. Singkirkan sikap tak peduli dengan sepak terjang politikus dan pejabat, yang sampai hari ini masih saja ada yang tersandung kasus korupsi.
Paling penting dalam menentukan pilihan sebelum mencoblos, jangan hanya terpukau pada janji manis dan perilaku serta retorika. Telisik betul siapa sosok yang paling cocok untuk memimpin provinsi ini lima tahun ke depan. Mari gunakan hak pilih Anda, dan jangan sampai salah pilih.
Seperti kata Frans Magnis Suseno SJ, Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.