WONOSARI, KOMPAS Sebanyak 31.607 keluarga atau 96.523 warga terdampak kekeringan di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagian warga kesulitan mendapat air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menurut Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Gunung Kidul Edy Basuki, Selasa (26/6/2018), di Wonosari, Gunung Kidul, sejak awal Mei 2018, wilayah Gunung Kidul memasuki musim kemarau. Sejumlah wilayah Gunung Kidul mulai kekeringan.
Data BPBD Gunung Kidul, kekeringan melanda 54 desa di 11 kecamatan di Gunung Kidul. Kecamatan yang dilanda kekeringan adalah Girisubo, Nglipar, Paliyan, Panggang, Purwosari, Rongkop, Tanjungsari, Tepus, Ngawen, Ponjong, dan Gedangsari.
Kekeringan merupakan masalah berulang di Gunung Kidul. Selama ini, sebagian warga Gunung Kidul mengandalkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Warga biasanya membangun penampungan air untuk menampung air hujan.
Hal ini karena wilayah Gunung Kidul relatif tandus. Warga susah mendapat sumber air di bawah tanah lewat pembuatan sumur.
Edy mengatakan, sejak 4 Juni 2018, BPBD Gunung Kidul mendistribusikan bantuan air bersih ke desa-desa yang dilanda kekeringan. Setiap hari didistribusikan 24 tangki berisi 5.000 liter air per tangki ke sejumlah wilayah yang mengalami kekeringan.
Untuk itu, BPBD Gunung Kidul menyiapkan enam truk tangki air, mesin diesel untuk memompa air, serta pipa dan selang untuk menyalurkan air. ”Kami menyiapkan anggaran Rp 638 juta untuk distribusi air,” ujarnya.
Pantauan Kompas, Selasa, BPBD Gunung Kidul menyalurkan bantuan air bersih antara lain ke Dusun Bolang, Desa Girikarto, Kecamatan Panggang, Gunung Kidul. Petugas BPBD menyalurkan air bersih ke RT 002, RT 004, dan RT 005.
Membeli air
Meski BPBD Gunung Kidul sudah menyalurkan bantuan air bersih, sebagian warga tetap harus membeli air dari swasta untuk memenuhi kebutuhan. Warga Dusun Bolang, Tuginah (42), mengatakan, sejak awal musim kemarau, ia terpaksa membeli air bersih seharga Rp 200.000 per tangki berisi 5.000 liter. ”Satu tangki air biasanya habis sebulan. Air juga saya pakai untuk warung makan saya,” ujarnya.
Pada musim hujan, Tuginah mengandalkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Rumah Tuginah belum tersambung dengan saluran air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Warga Dusun Dawung, Desa Girikarto, Margo Utomo (66), juga membeli air bersih seharga Rp 150.000 per tangki ukuran 5.000 liter karena air hujan yang ia tampung mulai menipis. Menurut Margo, rumahnya sudah tersambung dengan saluran air PDAM. ”Namun, air dari PDAM kadang mati. Akhirnya saya harus beli air,” katanya.
Minta bantuan
Sementara itu, 19 desa di tujuh kecamatan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, yang mengalami kekeringan meminta bantuan air bersih sejak seminggu lalu.
Pelaksana Tugas Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Temanggung Gito Walngadi mengatakan, pihaknya akan segera melakukan survei kondisi daerah. ”Kami akan melakukan survei ketersediaan air dan segera menyusun jadwal untuk penyaluran bantuan air bersih,” ujarnya, Selasa.
Krisis air bersih, menurut Gito, sudah dikeluhkan warga sejak awal Juni. BPBD Kabupaten Temanggung sudah melakukan survei dan menyalurkan bantuan air bersih ke empat dusun di Desa Tlogopucang, Kecamatan Kandangan, dan Desa Kalimanggis, Kecamatan Kaloran.
”Sementara ini, setiap dua hari sekali kami menyalurkan tiga tangki air,” ujarnya. Satu tangki air berisi 4.000-5.000 liter air.
Untuk mengatasi kekeringan tahun ini, Gito menyiapkan 350 tangki air. Ketersediaan air masih bisa ditambah dengan dukungan BPBD Jawa Tengah dan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sejumlah perusahaan.
Di Kabupaten Magelang, permintaan bantuan air bersih terus bertambah, dari tiga dusun menjadi empat dusun dari Desa Kembanglimus dan Desa Candirejo, Kecamatan Borobudur.
”Jika sebelumnya kami salurkan 15.000 liter air per tiga hari, mulai minggu ini kami akan menyalurkan 20.000 liter air untuk empat dusun per tiga hari,” ujar Kepala Seksi Logistik BPBD Kabupaten Magelang Nur Hadianto. Permintaan dari dusun lain terus berdatangan. (HRS/EGI)