WONOSARI, KOMPAS Kekeringan yang melanda Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, berdampak pada lahan pertanian. Hingga akhir Juni, sedikitnya 47 hektar lahan pertanian kekeringan dan 18 hektar di antaranya gagal panen.
”Ini merupakan data kumulatif dari Mei hingga akhir Juni,” kata Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunung Kidul Raharjo Yuwono, Rabu (27/6/2018) di Wonosari, Gunung Kidul.
Dia menjelaskan, lahan pertanian yang kekeringan itu merupakan lahan tadah hujan. Lahan yang dilanda kekeringan tersebar di empat kecamatan, yakni Wonosari, Playen, Semin, dan Ngawen. ”Lahan pertanian yang kekeringan paling banyak ada di Wonosari,” katanya.
Raharjo memaparkan, akibat 18 hektar lahan pertanian gagal panen, petani kehilangan potensi pendapatan Rp 290 juta. Namun, lahan yang gagal panen relatif kecil dibandingkan total luas lahan pertanian di Gunung Kidul. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Pangan Gunung Kidul, luas area tanam padi di kabupaten itu mencapai 10.015 hektar.
Menurut Raharjo, kekeringan saat ini berdekatan dengan waktu panen. Kebanyakan tanaman padi sudah melewati fase kritis membutuhkan banyak air. Hal itu yang menyebabkan lahan pertanian yang gagal panen tidak terlalu luas. ”Saat kekeringan terjadi, fase kritis sudah lewat dan tinggal menunggu panen sehingga sudah tidak perlu air,” ujarnya.
Sumber air baru
Untuk meminimalkan dampak musim kemarau, Pemkab Gunung Kidul melakukan sejumlah upaya. Antara lain, membangun sumber air baru, misalnya sumur bor, serta membangun infrastruktur pengairan. Selain itu, Pemkab Gunung Kidul juga memberikan bantuan pompa air kepada para petani.
Dari pantauan, Rabu, lahan pertanian yang gagal panen antara lain berlokasi di Dusun Siraman III, Desa Siraman, Kecamatan Wonosari, Gunung Kidul. Seorang petani di Dusun Siraman III, Kastono (40), menuturkan, lahan pertanian miliknya seluas 2.000 hektar gagal panen karena kekeringan. Akibatnya, Kastono kehilangan potensi pendapatan Rp 6 juta.
”Padi yang gagal panen sudah saya cabuti untuk pakan ternak,” katanya. Kini, Kastono menanam tanaman lain yang tidak membutuhkan banyak air, misalnya bawang merah dan tembakau.
Ketua II Kelompok Tani Tri Tunggal Karya, Dusun Siraman III, Samidi (78) mengatakan, saat ini di dusun ada beberapa sumur tanah yang masih berair. Sumur-sumur itu yang dimanfaatkan petani untuk mengairi lahan pertanian.
Samidi menambahkan, untuk mengalirkan air dari sumur ke lahan pertanian, mereka harus menyewa mesin pompa dan membeli solar. Biaya sewa pompa dan membeli solar Rp 50.000 per hari. ”Kalau musim hujan, kami mengandalkan air hujan karena tak ada sistem irigasi,” ujarnya.
Kekeringan yang melanda Gunung Kidul juga menyebabkan ribuan warga kesulitan mendapat air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seperti diberitakan sebelumnya, berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Gunung Kidul, kekeringan melanda 54 desa di 11 kecamatan di Gunung Kidul dan menyebabkan 96.523 warga kesulitan mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari (Kompas, 27/6/2018). (HRS)