SUKA MAKMUR, KOMPAS Kawasan lindung gambut Rawa Tripa di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, yang pernah dibakar oleh perusahaan sawit PT Kallista Alam kini dirambah oleh warga. Sejauh ini, upaya pemulihan dan penyelamatan rawa gambut masih minim.
Tahun 2012, PT Kallista Alam membakar lahan gambut untuk dijadikan perkebunan sawit. Setelah digugat oleh masyarakat sipil bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pengadilan memutuskan perusahaan itu bersalah. Mahkamah Agung memutuskan, perusahaan itu wajib membayar denda Rp 366 miliar, izin usaha perkebunan untuk budidaya (IUPB) dicabut, dan lahan dikembalikan kepada negara.
Pemprov Aceh menetapkan lahan seluas 1.605 hektar tersebut sebagai kawasan lindung gambut. Namun, kawasan lindung tersebut kini justru ditanami sawit oleh warga.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Syahrial yang ditemui, Kamis (28/6/2018), mengatakan, usaha reboisasi pernah dilakukan, tetapi tidak berjalan. ”Saat ini kami mencari mitra baru untuk menghutankan kembali lahan gambut Rawa Tripa,” katanya.
Terkait perambahan lahan, menurut Syahrial, pihaknya akan mengajak tim terpadu dari dinas, kepolisian, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam untuk menertibkan. Warga akan diminta tidak menggarap lahan gambut dan jika membandel, perambah akan ditindak.
Kepala Desa Alue Rambut, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya, Hasanuddin mengakui, sebagian warganya membuka lahan di kawasan lindung gambut. Menurut dia, warga membutuhkan lahan untuk berkebun sawit.
Pantauan Kompas bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Senin (26/6), beberapa titik lahan gambut mulai dibuka. Kanal seluas 3 meter telah dibangun mengelilingi lahan gambut yang dirambah. Pembuatan kanal untuk mempercepat pengeringan lahan sehingga mudah ditanami sawit. Rawa gambut yang dirambah itu berkedalaman hingga 3 meter.
Di sebagian lahan terlihat tanaman sawit setinggi 3 meter berusia 6 tahun. Sawit itu ditanam oleh PT Kallista Alam saat membuka lahan pada 2012. Setidaknya terdapat 200 hektar yang kala itu ditanami sawit.
Setelah IUPB dicabut, sawit tidak ditebang, tetapi diserahkan Pemprov Aceh kepada koperasi dengan sistem bagi hasil. Pada 2016, hak pengelolaan dibatalkan karena koperasi dinilai tidak mampu menjaga kawasan dan tidak pernah menyetor bagi hasil panen sawit ke pemprov.
Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur mengatakan, upaya perlindungan gambut Rawa Tripa masih lemah. Pemerintah dinilai tidak serius menyelamatkan lahan gambut. ”Buktinya di lapangan, lahan gambut Rawa Tripa jadi rebutan oknum untuk dijadikan kebun sawit,” kata Nur.
Hasil pantauan Walhi Aceh, sebagian besar kawasan Rawa Tripa sudah menjadi perkebunan sawit. ”Barangkali hanya 20 persen yang tersisa. Warga menganggap itu lahan telantar sehingga digarap,” kata Nur.
Nur menambahkan, kerusakan hutan gambut akan memicu bencana ekologi karena hutan gambut berfungsi sebagai penyimpan air, cadangan karbon, serta mitigasi kekeringan dan banjir. Nur berharap Pemprov Aceh segera mengembalikan lahan gambut itu menjadi hutan.
Laboratorium gambut
Contoh baik dilakukan di Kalimantan Tengah. Kawasan seluas 50.000 hektar, bekas perusahaan kayu PT Setia Alam Jaya di Sebangau, Palangkaraya, dijadikan tempat konservasi, yakni Laboratorium Alam Hutan Gambut. Pengelolaan dilakukan Universitas Palangka Raya.
Direktur Center for International Cooperation in Sustainable Management of Tropical Peatland (Cimtrop)-Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Ici Piter Kulo, Kamis, di Palangkaraya, menuturkan, lahan itu dijadikan kawasan konservasi dan hutan pendidikan sejak 1998.
Cimtrop menanam pohon-pohon endemik, membasahi lahan gambut, dan membentuk tim patroli untuk menjaga. Semua pekerjaan itu melibatkan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan.
Saat itu, tantangan cukup besar. Selain memperbaiki kerusakan lahan, juga masih terjadi pembalakan liar. Koordinator Lapangan LAHG Kitso Kusin mengatakan, ada 18 kanal yang dibuat oknum di kawasan LAHG. Tujuannya untuk mengalirkan kayu yang baru dipotong untuk dibawa keluar dari kawasan.
Tahun 1999, kawasan itu kerap terbakar. Pada 2015, sedikitnya 400 hektar lahan LAHG terbakar. ”Dari penelitian kami, 40 sentimeter sampai 1,2 meter lahan gambut hilang akibat kebakaran,” ujar Kitso.
Untuk mengantisipasi, dibuat sumur bor dan sekat kanal. Sekat kanal efektif membasahi lahan sekaligus menebalkan lahan gambut. ”Sekarang kawasan ini menjadi laboratorium gambut untuk mahasiswa juga peneliti lain. Sudah banyak peneliti dari sejumlah negara datang ke tempat ini,” kata Ici.
Saat ini, Cimtrop bekerja sama dengan Borneo Nature Foundation (BNF) menjadi penjaga sekaligus pengelola. BNF menjadi donatur utama Cimtrop.
Manajer Konservasi BNF Yunsiska Ermiasih mengatakan, pihaknya membuat tempat khusus untuk pembibitan. Ada 1.900 bibit pohon yang akan ditanam.
Berdasarkan data BNF, ada 220 jenis pohon baik endemik maupun pohon jenis umum, 201 spesies burung, 40 spesies reptil, 65 spesies ikan, dan 67 spesies mamalia termasuk orangutan, bekantan, di kawasan itu. Sedikitnya sudah 60 orangutan yang diikuti untuk diteliti. (AIN/IDO)