Hampir sepekan setelah hari pencoblosan, Pilkada Kota Makassar masih riuh jadi perbincangan. Terlebih dengan berbagai peristiwa yang terjadi pasca-pencoblosan. Rekapitulasi yang sebagian besar dilakukan tertutup, pengusiran wartawan, penjagaan superketat, server ngadat diserang peretas, klaim kemenangan antara pasangan calon dan relawan kotak kosong, hingga dugaan manipulasi suara. Semua itu silih berganti mewarnai berita di media massa dan media sosial.
Hingga Senin (2/7/2018), sistem informasi dan penghitungan (situng) di KPU Kota Makassar belum rampung, sementara hampir semua kabupaten/kota di Sulsel yang ikut melaksanakan pilkada pada Rabu (27/6) sudah tuntas. Sejak awal, pindai c-1 dari KPU Makassar memang yang paling lambat di antara kabupaten/kota lain.
Monitor yang menampilkan hitung cepat Pilkada Makassar akhirnya benar-benar berhenti pada Jumat (29/6) siang. Saat itu posisi terakhir berada di angka 80 persen suara masuk dengan perolehan pasangan Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi 47,50 persen (214.219 suara) dan kotak kosong 52,50 persen (236.785 suara).
Di tengah server ngadat yang dikonfirmasi oleh Koordinator Data dan Informasi KPU Sulsel Uslimin sebagai serangan peretas (hacker), beredar lembar-lembar formulir c-1 berisi angka yang berbeda dengan pindai yang masuk dalam situs KPU dan TPS.
”Di Makassar ada banyak masalah. Ada yang coba membuka kotak di PPK, ada yang coba menghalangi transparansi di antaranya dengan melarang wartawan dan pemantau, ada yang mencoba buat lembar palsu dengan angka yang berbeda. Ada yang diambil di buku panduan dan diisi dan itu rekayasa,” kata Uslimin.
Dugaan manipulasi suara ini ditanggapi Bawaslu Makassar dengan memanggil KPU Makassar untuk memberikan klarifikasi pada Sabtu (30/6)
”Memang didapati perbedaan dengan dokumen c-1 yang kami miliki dan yang dimiliki Panwascam. Perbedaan angkanya cukup signifikan,” kata M Maulana dari Humas Bawaslu Makassar.
Ketua KPU Makassar Sarif Amier membenarkan soal ini. ”Ini adalah klarifikasi kasus c-1. Ada dugaan tidak sesuai. Ada perbedaan angka antara dokumen yang diserahkan ke KPU dan yang di TPS. Ini sementara diselidiki. Soal perbedaan angka, ada c-1 plano dan hologram yang bisa dibuka. Hasil akhirnya tetap mengacu pada perhitungan berjenjang,” katanya.
Memang sehari setelah pencoblosan ada banyak temuan terkait perbedaan angka yang cukup signifikan. Ini, misalnya, terjadi di Kecamatan Tamalate di antaranya di Kelurahan Bontoduri. Sebagai contoh di TPS 06. Jika di lembar c-1 suara pasangan Munafri-Rachmatika 94 dan kotak kosong 138, maka di c-1 situs KPU suara Munafri-Rachmatika 238 dan suara kotak kosong, 1. Contoh lain di TPS 14 Kelurahan Pabaeng-Baeng, pada lembar kertas c-1 suara Munafri-Racmatika 65 dan kotak kosong 170, tetapi di situs KPU, suara pasangan calon 183 dan suara kotak kosong, 2.
Kisruh perbedaan angka ini makin menimbulkan prasangka saat wartawan tetap tak diizinkan masuk meliput. Bahkan, hal ini masih terjadi saat pihak Bawaslu sudah meminta agar wartawan diberi akses. Pihak KPU Makassar mengaku tak ada larangan. Kepala Bidang Humas Polda Sulse juga mengatakan hal sama. Nyatanya sebagian pintu kantor kecamatan tetap tertutup untuk wartawan.
Di tengah situasi ini, letupanletupan kecil lainnya mewarnai proses rekapitulasi. Pada Minggu malam, terjadi ketegangan antara massa yang mengatasnamakan tim pasangan calon dan massa relawan kotak kosong. Kedua kelompok bersitegang di depan kantor Kecamatan Mariso. Semua berdalih ingin mengawasi dan menjaga proses rekapitulasi. Di Kecamatan Bontoala, ketegangan serupa juga terjadi.
Kisruh ini mendorong sejumlah kelompok masyarakat menyatakan sikap. Atas nama Advokat Muda Pengawal Demokrasi Kota Makassar, 17 pengacara menyuarakan sikap agar KPU dan semua pihak terkait, termasuk masyarakat, mengawal proses dengan bersih dan jujur.
Sejak awal, tahapan Pilkada Makassar memang sudah mengundang perhatian. Ini dimulai saat KPU mendiskualifikasi pasangan M Ramdhan Pomanto, wali kota petahana, yang berpasangan dengan Indira Mulyasari Paramastuti, kader Partai Nasdem. Pasangan ini menggunakan jalur perseorangan dengan dukungan Partai Demokrat.
Dengan keputusan ini praktis hanya satu pasangan calon yang maju, yakni pasangan Munafri-Rachmatika yang diusung 10 parpol atau pemilik 43 dari 50 kursi di DPRD Kota Makassar.
”Masyarakat semakin cerdas. Mereka paham bahwa demokrasi, pilkada, adalah proses berkompetisi untuk memilih. Namun, dengan hanya satu calon, tak ada pilihan lain. Dengan unggulnya kotak kosong, ini adalah bentuk perlawanan masyarakat yang muak dengan proses demokrasi yang ada dan menginginkan alternatif calon pemimpin, bukan hanya satu calon,” kata Anshar Manrulu, Koordinator Rewako (Relawan Kotak Kosong) Makassar.
Seperti drama, kini semua menunggu seperti apa akhir cerita Pilkada Makassar. Sama penasarannya dengan warga yang menunggu hasil akhir tahapan ini dengan pengumuman resmi KPU, apakah kotak kosong yang menang serta hasil hitung cepat atau berbalik menjadi pasangan calon.