Konflik antara gajah dan manusia di Lampung belum juga berakhir. Kondisi ini juga dipicu oleh menyempitnya habitat gajah menyusul penguasaan manusia untuk membuka perkebunan.
KOTAAGUNG, KOMPAS - Warga masih berjaga di kawasan hutan yang berdekatan dengan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung, setelah tewasnya seorang warga yang diserang kawanan gajah liar di Register 39 Kotaagung. Upaya penghalauan gajah liar itu belum cukup efektif meredam konflik.
Kepala Bidang Teknis Konservasi TNBBS Ismanto mengatakan, pihaknya telah menggelar rapat koordinasi internal untuk membahas penanganan konflik gajah-manusia yang terjadi di sekitar kawasan TNBBS. ”Kami bersama tim satgas konflik, warga, dan mitra terkait masih berupaya menghalau kawanan gajah. Pekan ini kami juga akan berkoordinasi dengan pemerintah provinsi untuk menentukan langkah selanjutnya,” kata Ismanto, Rabu (4/7/2018).
Saat ini, kawanan gajah liar masih bertahan di sekitar areal Blok 6 Talang Marno di Hutan Lindung Register 39 Kotaagung Utara, Kecamatan Bandar Negeri Semoung, Tanggamus. Tim satgas bersama warga di Kecamatan Bandar Negeri Semoung secara bergantian berjaga di dalam kawasan hutan lindung yang berbatasan langsung dengan TNBBS. Penjagaan serupa dilakukan di Kecamatan Semaka, Tanggamus.
Berbagai lembaga, seperti Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung-Bengkulu, WWF-Indonesia, dan Wildlife Conservation Society, juga membantu warga memantau pergerakan gajah menggunakan GPS collar. Hingga kini belum ada pihak yang bisa memastikan hingga kapan penghalauan itu akan dilakukan.
Surip (70) tewas saat mengusir satwa itu dari kebun yang dijaganya di kawasan Hutan Lindung Register 39 Kotaagung Utara, Selasa (3/7) dini hari. Konflik yang sudah lebih dari satu tahun tersebut juga menimbulkan kerugian material berupa kerusakan kebun dan gubuk masyarakat, (Kompas, 4/7).
Project Leader WWF-Indonesia Regional Sumatera Bagian Selatan Yob Charles menuturkan, pihaknya tengah mengobservasi sekitar lokasi untuk menentukan penanganan konflik gajah dan manusia secara tepat.
Sementara itu, di Aceh, seusai tertangkapnya dua terduga pembunuh Bunta, gajah jinak, di Conservation Response Unit (CRU) Serba Jadi, Kabupaten Aceh Timur, aparat penegak hukum pun didesak membongkar jaringan perdagangan satwa liar. Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur mengapresiasi kinerja polisi yang berhasil menangkap pelaku pembunuh Bunta. Namun, proses hukum jangan berakhir pada pelaku lapangan. ”Tanpa ada pemesan atau pihak yang bersedia menampung, pelaku tidak mungkin mau memburu gajah,” kata Nur.
Dua terduga pembunuh Bunta, BW dan AL, berhasil ditangkap. Dua pelaku lain, yakni PT dan AR, masih diburu. Keempatnya merupakan warga Aceh Timur.
BW pernah bekerja sebagai juru masak di CRU Serba Jadi. Setahun bekerja di CRU, BW kerap membantu mahout (pawang gajah) memberi makan Bunta. Saat mereka membunuh Bunta, BW bertugas memberikan buah kueni yang telah dicampur racun. Bunta mau makan pemberian BW karena sudah mengenal BW. Sedangkan yang lain bertugas mengambil gading setelah Bunta mati.
”Kasus baru terbuka tuntas setelah empat pelaku ditangkap. Keterangan dari BW dan AL masih putus-putus. Keduanya tidak mengetahui siapa pemesan,” kata Kapolres Aceh Timur Ajun Komisaris Besar Wahyu Kuncoro.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Sapto Aji Prabowo meyakini perdagangan satwa dikendalikan mafia. Mereka membentuk simpul-simpul kecil di daerah yang sulit terdeteksi.