Mengolah Gambut Tanpa Kabut
Para petani di Semenanjung Kampar, Kecamatan Teluk Meranti, Pelalawan, Riau, empat tahun ini bertanam cabai tanpa membakar lahan. Meski pekerjaan lebih rumit, panen lebih menguntungkan dan lebih sehat karena bebas asap yang menyesakkan.
Sampai tahun 2014, lahan gambut di sudut timur Semenanjung Kampar, Kecamatan Teluk Meranti, Pelalawan, Riau, dikenal sebagai langganan kebakaran. Letaknya yang berdekatan dengan Selat Malaka membuat kabut asap kerap menyebar sampai ke negara tetangga, Malaysia dan Singapura.
Bagi petani di sana, membakar adalah satu-satunya cara mengolah tanah sebelum bercocok tanam. Tanpa membakar, diyakini bertani di lahan gambut adalah pekerjaan mustahil.
Kegiatan bakar-membakar lahan gambut diakui Zamri (41), anggota Kelompok Tani Maju Bersama asal Dusun Sangar, Desa Pulau Muda, Kecamatan Teluk Meranti. Ia mengatakan, membakar lahan adalah cara yang diturunkan orangtuanya.
”Sampai 2014, hanya cara itu (membakar) yang kami tahu,” kata Zamri di lahan cabainya, Kamis (7/6/2018).
Letak Dusun Sangar berada di area konsesi proyek Restorasi Ekosistem Riau (RER), bagian dari grup Asia Pacific Resources International Limited. RER adalah proyek restorasi ekosistem hutan gambut di Semenanjung Kampar, seluas 130.000 hektar, kira-kira dua kali wilayah DKI Jakarta. Hutan itu sangat bagus kondisinya, bahkan disebut sebagai hutan terbaik di Riau.
Zamri menceritakan, pada musim panas, masa persiapan bertanam dimulai. Yang disebut persiapan adalah membuka lahan semak belukar dengan cara membakar.
Dalam kondisi kering, gambut ibarat ilalang kering. Hanya dengan sebatang korek api, ribuan hektar lahan dapat terbakar. Bara gambut yang terdiri dari bahan organik kering akan menjalar melalui pori-pori tanah yang sangat gembur. Hanya hujan yang dapat memadamkan gambut terbakar.
Menjelang musim hujan, Zamri dan kawan-kawan menanam jagung di lahan bekas dibakar. Luas penanaman hingga 20-30 hektar per orang. Setelah jagung tumbuh, tanaman tak banyak mendapat perawatan. Dari lahan seluas 20 hektar, didapat hasil panen sekitar 13 ton.
Biaya yang dikeluarkan Zamri untuk menanam jagung Rp 15 juta. Nilai jual panen sekitar Rp 25 juta. Keuntungan Rp 10 juta (termasuk upah tenaga kerja) didapat setelah empat bulan.
”Dulu, saya sering melihat Zamri di dekat ladangnya. Saya bertanya, lagi ngapain? Ia bilang sedang mengawasi anggotanya lagi bekerja. Ternyata yang dimaksud pekerja adalah api yang sedang membakar lahannya,” ujar Edy Suprayitno, Manajer Lapangan RER.
Metode tanpa bakar
Melihat kebiasaan buruk petani, RER lalu memberikan bantuan teknis kepada petani lewat Bidara, sebuah lembaga non-pemerintah. Sejak 2015, Syairoji, anggota Bidara yang praktisi pertanian, mulai mendampingi petani untuk mengubah kebiasaan mereka.
Syairoji membuat kelas lapangan bertanam cabai di lahan milik Zamri. Kelas itu membuat pembelajaran langsung di lapangan. Syairoji mempraktikkan pola bertanam di lahan gambut dengan metode tanpa bakar di hadapan 20 anggota kelompok tani.
”Waktu itu, kami menanam 1.000 pohon cabai di lahan seluas 700 meter persegi. Hasil panen mencapai 500 kilogram. Dengan harga jual Rp 30.000, kami meraih keuntungan lebih dari Rp 20 juta,” katanya. Pemikiran petani, ujarnya, akhirnya terbuka. Mereka melihat sendiri, dari luas lahan 700 meter persegi saja, hasil panen lebih besar daripada membuka lahan 20 hektar dengan cara membakar.
Hitung-hitungan keuntungan yang disebutkan Syairoji sekilas tampak menggiurkan. Namun, untuk mencapai hasil sebesar itu, diperlukan kerja keras, keseriusan, dan ketelatenan.
Bertanam di lahan gambut sangat berbeda dengan lahan mineral seperti tanah di Jawa. Tanah gambut sangat asam dengan derajat keasaman (pH) mencapai 3 sehingga tanaman tidak mudah tumbuh. Untuk menetralkan tanah satu jalur tanam, ukuran 1 meter x 70 meter, diperlukan kapur jenis dolomit sebanyak 25 kilogram.
Setelah bibit ditanam, di bagian atas harus diberi naungan paranet (shading net). Tanpa pelindung, cuaca panas akan membuat tanaman layu dan mati. Pemeliharaan lain seperti pemberian pupuk dan penggunaan pestisida tetap mengikuti kaidah bertanam di lahan mineral.
”Di tempat ini cuaca sangat ekstrem. Kalau panas terlalu panas, kalau hujan terlalu basah. Sering kali, saat panas terik, tiba-tiba turun hujan. Penguapan tanah asam juga membuat suhu tinggi di bagian bawah tanaman. Kondisi itu sangat berbahaya sehingga dibutuhkan perlakuan khusus untuk menjaga tanaman tetap hidup,” kata Syairoji.
Dengan pekerjaan yang lebih rumit dan faktor kegagalan besar, hasil panen di lahan gambut lebih sedikit. Sebagai perbandingan, di tanah mineral, satu pohon cabai dapat panen lebih dari 1.000 gram, sementara di lahan gambut berkisar 500 gram. Meski demikian, bagi petani lahan gambut, hasil itu sudah cukup baik.
Sejak 2015, Zamri sudah tujuh kali bertanam cabai. Lima musim tanam berhasil, dua kali gagal. Pernah ia menanam 5.000 pohon, tetapi hasilnya cuma 100 kilogram karena cuaca ekstrem. ”Modal saya Rp 20 juta, tetapi hasil panennya Rp 3 juta. Saya tidak kapok. Kalau dihitung dengan untung sebelumnya, keuntungan saya masih lebih besar,” ujar Zamri.
Modal menikah
Zamri tersenyum jika mengingat pengalaman mengajak adik iparnya, Edi, yang kesulitan dana saat akan menikah pada 2017. Mereka pun bertanam cabai 4.000 pohon di lahan seluas 2.400 meter persegi. Saat panen, Zamri mendapat keuntungan lebih dari Rp 50 juta. Setengah dari keuntungan itu ia serahkan kepada Edi buat biaya menikah.
Mahlan Ritonga (32) dan abangnya, Bahri Ritonga, petani sawit di Dusun Sangar, kini ikut bertanam cabai sebanyak 4.000 pohon di lahan Zamri. Seusai Lebaran, cabai dipanen. Petani juga menanam sayur dan buah-buahan semusim.
Sejak 2015, lima anggota Kelompok Tani Maju Bersama pindah dari lokasi itu. Ternyata mereka adalah perantau yang berhasil menanam cabai. Keuntungan dari panen cabai dipakai untuk membeli lahan mineral di kampung mereka sendiri.
”Mereka sudah punya ilmu bertanam cabai di lahan sulit. Kini, mereka mengembangkan diri dengan bertani di tanah yang lebih mudah diolah,” kata Syairoji.
Zamri dan kawan-kawan lain yang warga asli lokal bertahan di lokasi. Kini, satu hal diyakini Zamri dan petani Dusun Sangar, bertanam dengan cara tanpa bakar di lahan gambut jauh lebih baik daripada pola bakar berkabut asap di masa lalu.