Mencoba Berjaya lewat Warna
Penghasilan nelayan Kampung Sula’a, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, jauh dari cukup. Tradisi menenun yang diwariskan sejak abad ke-14 itu menjadi cara para ibu di sana untuk membantu perekonomian keluarga.
Kain tenun dengan beragam motif dan warna digantung pada seutas tali di halaman rumah warga. Jalanan kampung selebar 4 meter jarang dilewati kendaraan. Di sepanjang jalan kampung itu, rumah adat Banua Tada Malige berjejer dan berhadapan. Rumah-rumah itu dicat warna-warni. Suasana terasa bergairah karena pancaran warna merah, jingga, hijau, dan ungu dari kain tenun serta rumah adat.
Rumah adat Banua Tada Malige adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu jati. Untuk membangunnya tidak diperlukan paku karena menggunakan teknik kunci khusus agar rumah tak mudah roboh. Siang hingga sore hari, ibu-ibu di sana biasa menenun di kolong rumah adat. Alasannya, agar bisa bertegur sapa dengan tetangga sekaligus mengawasi anak-anak.
Terletak di tepi laut, Kampung Sula’a adalah kampung nelayan. Jika sore menjelang, langit di atas kampung akan berubah merah jingga. Air laut di Kampung Sula’a tergolong jernih. Dari atas Dermaga Topa, kita bisa menyaksikan secara jelas ikan berenang di antara rimbun rumput laut.
Kampung Sula’a menjadi bagian dari Kelurahan Sula’a. Sebagian besar penduduk Kampung Sula’a adalah nelayan.
Nelayan yang aktif terdata 70 orang. Penghasilan sebagai nelayan tidak bisa menjamin seluruh anggota keluarga Laysiysi (51) bisa makan setiap hari. Paling banyak dalam sebulan ia bisa memperoleh Rp 1,5 juta dari hasil melaut. Ketika cuaca sedang buruk dan ia tak bisa mencari ikan, penghasilannya pun berkurang. Padahal, kebutuhan pokok tak bisa ditunda.
”Kalaupun dapat ikan banyak, bisa saja harganya tidak sesuai. Menjadi nelayan tidak menjamin pendapatan. Kadang ada uang, kadang tidak,” ujar Laysiysi, Sabtu (30/6/2018).
Penghasil tenun
Kampung Sula’a juga merupakan kampung tenun tertua di Pulau Buton, Sultra. Teknik menenun tersebut mereka peroleh turun-temurun. Menurut Sultan Buton, La Ode Izat Manarfa, tradisi menenun sudah dilakukan nenek moyang mereka. Tradisi itu diwariskan kepada keturunan masing-masing. Biasanya, sang ibu akan mengajari anak perempuannya menenun.
Tokoh masyarakat Kampung Sula’a, Gafarudin (47), mengungkapkan, jumlah penenun di Kampung Sula’a terus berkurang. Saat ini, wanita-wanita penenun di Kampung Sula’a berjumlah sekitar 100 orang. Beberapa tahun sebelumnya, penenun bisa mencapai 200-300 orang.
Ia mengakui, minat generasi muda untuk belajar menenun perlahan mulai hilang. Mereka lebih memilih merantau atau mencari pekerjaan lain. Menenun bukan pekerjaan mudah, butuh kesabaran, ketekunan, dan ketelitian. Untuk menyelesaikan satu kain tenunan, rata-rata memerlukan waktu seminggu hingga satu bulan. Selain itu, kerja keras yang dilakukan selama menenun dirasa agak tidak sebanding dengan harga satu kain tenun yang dipatok Rp 200.000 hingga Rp 1 juta ke atas.
Terlebih lagi, tidak ada yang bisa menjamin kain tenun karya penenun di Kampung Sula’a bisa langsung terjual. Hal itu karena tidak setiap hari ada wisatawan berkunjung ke Kampung Sula’a.
Menurut Gafarudin, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kampung Sula’a bisa mencapai ratusan orang per tahun. Wisatawan dari Jakarta dan Makassar jadi yang paling banyak bertandang.
”Kalau sudah dikenal, jumlah wisatawan seharusnya lebih banyak dari itu,” ujar Gafarudin.
Karena wisatawan yang berkunjung masih sedikit, akhirnya banyak kain tenun yang tidak terjual. Para penenun juga memasarkan kain dengan cara yang masih konvensional.
Salah seorang penenun, Fitrianti (42), mengatakan, penenun di Kampung Sula’a mayoritas merupakan warga lanjut usia. Mereka tidak terlalu mengusai teknologi. Oleh karena itu, mereka tidak bisa memperluas pasar dengan memasarkan karya mereka secara dalam jaringan. ”Generasi muda di sini paham internet, tetapi mereka jarang membantu memasarkan,” katanya.
Mempercantik diri
Pada awal Juni 2018, keadaan di Kampung Sula’a berubah. Rumah adat Banua Tada Malige yang semula tampak kusam dan monoton kini lebih berwarna. Sedikitnya ada 107 rumah adat yang dicat warna-warni. Pacific Paint, salah satu pelopor pabrik cat di Tanah Air, menjadi inisiator pengecetan rumah adat. Selain rumah adat, perahu milik nelayan juga turut dicat.
Menurut Direktur Pacific Paint Suryanto Tjokrosantoso, pengecatan akan membantu merawat kondisi kapal. Kapal nelayan Kampung Sula’a merupakan kapal tradisional yang terbuat dari kayu. Karena sering terendam air laut, perahu kayu berpotensi cepat rusak. Jika badan kapal dicat, tidak hanya mempercantik tampilan kapal, tetapi juga menghindarkan kapal dari kerusakan akibat air laut.
Perpaduan antara kapal dan rumah adat warna-warni menambah semarak suasana di Kampung Sula’a. Gafarudin menyatakan, sebelum pengecatan dilakukan, rumah-rumah di Kampung Sula’a masih belum beraturan. Banyak rumah dibiarkan apa adanya, kusam, kumuh, dan kurang terawat.
Sejak rumah-rumah dipercantik dengan hiasan cat warna-warni, kesadaran warga untuk menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan menjadi bertambah. Dengan menyisipkan sentuhan beragam warna di Kampung Sula’a, Suryanto berniat mempromosikan kain tenun di Kampung Sula’a dengan cara kreatif. Kampung Sula’a bakal didesain sebagai destinasi wisata baru.
Pengecatan perahu pun, menurut Suryo, dilakukan agar perahu warga menjadi lebih menarik. Selama ini, selain untuk menangkap ikan, warga juga menyewakan perahu kepada wisatawan yang hendak menyeberang ke Pulau Liwutongkidi. ”Wisatawan tentu akan memilih menaiki perahu yang bersih dan menarik,” katanya.
Penjabat Wali Kota Baubau Hado Hasina mengatakan, Kampung Sula’a akan dikemas menjadi kampung wisata. Ke depan, tugas berat menanti pemerintah, yaitu persoalan mengembangkan infrastruktur dan fasilitas penunjang wisata.
Mengecat rumah adat dan perahu nelayan hanya langkah awal agar masyarakat luas lebih mengenal Kampung Sula’a. Berawal dari sentuhan warna, warga kini menemukan semangat baru dan mulai mencoba untuk berjaya.