Dorong Operasi Pasar Telur
Minimnya pasokan memicu kenaikan harga telur di sejumlah daerah. Penyebabnya lonjakan biaya produksi hingga serangan penyakit. Operasi pasar dibutuhkan untuk stabilisasi harga.
SURABAYA, kompas Harga telur ayam di sejumlah daerah terus meningkat akibat susutnya pasokan dari para peternak ke pasaran. Pemerintah daerah perlu mengambil langkah antisipatif dengan menggelar operasi pasar untuk menambah pasokan sehingga harga dapat stabil.
Penelusuran Kompas di sejumlah daerah hingga Rabu (11/7/2018), harga telur di kalangan peternak naik berkisar 10 persen-25 persen. Bahkan, di tingkat pengecer, kenaikan harga bisa mencapai 30 persen. Semuanya sudah melebihi ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.
Dalam aturan itu, harga acuan pembelian telur ayam ras di petani pada batas bawah dan batas atas sebesar Rp 17.000 per kg dan Rp 19.000 per kg. Adapun harga acuan penjualan telur ayam di konsumen Rp 22.000 per kg.
Di Kota Bandung, Jawa Barat, harga telur di tingkat peternak naik dari Rp 20.000-Rp 22.500 per kilogram (kg) menjadi Rp 25.600 per kg. Sementara di tingkat pengecer di pasar tradisional naik dari Rp 24.000 per kg menjadi Rp 29.000 per kg. Adapun di sentra peternakan ayam Blitar, Jawa Timur, harga telur di tingkat peternak berkisar Rp 23.000-Rp 23.500 per kg. Harga ini tertinggi sejak awal tahun. Sebelumnya saat Lebaran lalu harga masih Rp 21.000 per kg.
Adapun di Kota Padang, Sumatera Barat, satu rak berisi 30 butir telur ayam yang normalnya Rp 38.000-Rp 42.000, naik menjadi Rp 45.000-Rp 47.000. Sementara di Jayapura harga satu rak telur yang normalnya berkisar Rp 45.000-Rp 57.000 naik mencapai Rp 60.000.
Kenaikan harga telur dipicu banyak hal. Mulai dari menurunnya produksi telur di tingkat peternak akibat serangan virus, tinggi dan langkanya ayam usia sehari (DOC), hingga naiknya biaya produksi akibat kenaikan bahan bakar minyak.
Zakiul (28), Manajer Produksi 1.000 Farm, peternakan ayam petelur di Kabupaten Subang, Jawa Barat, mengatakan, serangan virus terjadi sejak dua bulan lalu.
”Dampaknya ayam mengalami apkir, bahkan banyak yang mati. Produksinya pun turun hingga 50 persen,” ujar Zakiul.
Dia mencontohkan, awalnya memiliki 150.000 ekor ayam petelur. Namun, setelah melakukan apkir, jumlahnya berkurang separuhnya. Akibatnya, produksi peternakan 1.000 Farm yang awalnya 3-4 ton telur per hari kini hanya 1,5-2 ton per hari.
Pedagang telur ayam Pasar Kosambi, Nana Narmilah (59), mengaku mendapat informasi dari agen pemasok telur bahwa lonjakan harga juga disebabkan kenaikan harga bahan bakar jenis Pertamax per 1 Juli. ”Biaya transportasi jadi naik,” ucap Nana.
Di Kota Serang, Banten, keterbatasan pasokan dari produsen bibit ayam memicu suplai telur dari peternakan ke pasar terkendala. Ayu (47), peternak di Desa Batukuda, Kecamatan Mancak, Kabupaten Serang, mengatakan, suplai DOC tak sesuai permintaan. Salah satu indikasinya, DOC yang Mei Rp 6.000 per ekor kini mencapai Rp 8.500 per ekor.
Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jabar Achmad Suryadi mengatakan, jika harga telur tak terkendali, pihaknya akan mengusulkan kepada Kementerian Perdagangan supaya dilakukan operasi pasar.
Stabilisasi harga
Pemerintah Kota Surabaya mulai menggelar operasi pasar mandiri di empat pasar dengan menjual telur ayam seharga Rp 22.500 per kilogram.
Kepala Dinas Perdagangan Kota Surabaya Wiwiek Widayati mengatakan, pihaknya mengadakan operasi pasar mandiri sejak Selasa (10/7/2018). Operasi pasar dilaksanakan di empat pasar di Surabaya, yakni Pasar Wonokromo, Pasar Tambakrejo, Pasar Kembang, dan Pasar Pucang Anom mulai pukul 06.00 hingga 11.00. Dinas perdagangan setempat menyediakan telur ayam sebanyak 1 ton per hari.
”Operasi pasar dilakukan sampai harga telur ayam turun menjadi Rp 23.000 per kilogram,” ujarnya. Saat ini harga telur ayam di Surabaya berkisar Rp 28.000-Rp 30.000 per kg.
Wiwiek menuturkan, Dinas Perdagangan tidak mengambil untung ketika menjual telur ayam. Harga Rp 22.500 per kg diperoleh dari perusahaan, sedangkan di tingkat peternak bisa mencapai Rp 24.000 per kg. ”Kami langsung membeli dari perusahaan karena harga lebih murah,” ucapnya.
Sementara itu, Perum Bulog Divisi Regional Jatim belum berencana melakukan stabilisasi harga akibat kekosongan stok. ”Bulog menunggu perintah dari pemerintah pusat. Untuk telur, saat ini tidak ada stok,” ujar Kepala Bulog Divre Jatim Muhammad Hasyim.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan tengah membahas lonjakan harga telur dengan Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar). Menurut dia, pelemahan nilai rupiah yang berdampak pada pakan ternak menjadi salah satu pemicu kenaikan harga telur ayam.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Ternak Desianto Budi Utomo menuturkan, komponen impor pada pakan ternak ayam mencapai 60 persen. Akibat pelemahan rupiah, harga pakan ternak naik Rp 300-Rp 600 per kg menjadi Rp 6.000-Rp 6.300 per kg. Hal itu menyebabkan biaya produksi ayam petelur meningkat.
Sementara menurut Ketua Umum Pinsar Petelur Nasional Yudianto Yosgiarso, kenaikan harga telur merupakan imbas penggelontoran telur-telur yang seharusnya ditetaskan menjadi DOC. ”Waktu itu, telur-telur DOC dilepas ke pasar karena peternak memilih merayakan Lebaran,” katanya.
Libur panjang Lebaran, menurut Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, membuat banyak peternak telur tak menjual produk ke pedagang. ”Kini, perusahaan-perusahaan besar peternakan diimbau turut mengendalikan harga telur,” ujarnya.
(TAM/NIK/WER/SYA/ETA/SEM/BAY/FLO/JUD)