TENGGARONG, KOMPAS - Laporan serangan orangutan terhadap warga di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, menunjukkan indikasi perubahan perilaku orangutan. Perilaku alami orangutan sebenarnya tidak pernah lebih dulu menyerang manusia. Kasus ini masih diselidiki.
Abdul Rasyid (50), warga Muara Badak, Kutai Kartanegara, melaporkan bahwa dirinya diserang orangutan, akhir Juni lalu. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim Sunandar Trigunajasa, Rabu (11/7/2018), mengatakan, ”Kami masih menelusuri bagaimana kejadiannya, bagaimana kondisi lapangan. Ini cukup sulit karena tidak ada saksi.”
Akhir Juni, Abdul, warga Solo Palai, mengendarai motor menuju kawasan Nilam, Muara Badak. Menurut pengakuannya, dia melihat orangutan berukuran besar di tepi jalan dan tiba-tiba menyerang dirinya. Abdul melawan, memukul badan serta mata orangutan. Hewan itu lalu lari. Abdul selamat, tetapi pergelangan tangan kirinya patah, juga jari tengahnya. Ia mendapat pertolongan dari tim medis perusahaan migas Vico Badak, kemudian dibawa ke rumah sakit. Lokasi kejadian yang diapit kebun sawit, karet, dan semak belukar diketahui sebagai habitat orangutan.
Secara terpisah, pemerhati orangutan yang juga dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda, Yaya Rayadin, meyakini, orangutan tidak menyerang lebih dulu. Pengalaman selama 20 tahun mengamati perilaku orangutan membuktikan hal tersebut. ”Ketika manusia beraksi terhadap orangutan, baru ada reaksi dari orangutan. Secara naluriah, orangutan liar menyingkir jika ada manusia. Kecuali yang sudah terbiasa melihat,” kata Yaya.
Pendapat senada diutarakan Ramadhani, Manajer Perlindungan Habitat Centre for Orangutan Protection (COP). ”Kami sudah ke lokasi. Ada sarang-sarang orangutan yang sudah lama. Melihat kondisi bahwa habitat mereka dekat manusia dan terus berkurang, kami khawatir konflik bisa terulang,” katanya.
Sunandar menyarankan agar warga menghindari perilaku yang memancing reaksi orangutan, seperti memberi makan, berfoto, atau mendekati. Habitat orangutan jangan diusik. Insting menyerang orangutan adalah caranya mempertahankan diri.
Bukit Lawang
Sementara itu, 56 persen orangutan di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bukit Lawang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, mati sebelum usia 3 tahun. Kebiasaan wisatawan bersentuhan dan memberi makan membuat orangutan rentan terkena penyakit. Hal ini diduga jadi penyebab kematian seekor anak orangutan di Bukit Lawang yang diketahui 30 Juni lalu.
Pelaksana Harian Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Joko Iswanto di Medan, Rabu, mengatakan akan terus melakukan perbaikan tata kelola ekowisata di Bukit Lawang. Mereka akan memperketat larangan memberi makan dan bersentuhan dengan orangutan atau satwa lain. ”Larangan untuk memberi makan dan bersentuhan dengan orangutan sudah ada dari dulu. Namun, masih perlu peran pemandu wisata dan kesadaran wisatawan untuk menerapkan,” kata Joko.
Dokter hewan dari Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP), Yenny Saraswati, mengatakan, hasil nekropsi terhadap bangkai orangutan menunjukkan tidak ada tanda kekerasan atau luka di tubuhnya. Hanya ada lebam ringan di dada yang diduga karena terjatuh. Lambung dan usus anak orangutan itu kosong. Ada kemungkinan anak orangutan itu kelaparan.
Di Kalimantan Tengah, sejumlah lembaga dan yayasan pemerhati perlindungan orangutan mendesak kepolisian untuk segera menangani kasus penemuan bangkai orangutan bernama Baen (20). Bangkai orangutan jantan itu ditemukan terapung di kanal pembukaan lahan PT Wana Sawit Subur Lestari II, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Nekropsi oleh Orangutan Foundation dan BKSDA Kalteng, menemukan tujuh butir peluru di tubuh Baen dan beberapa luka lain (Kompas, Kamis 4/7/2018). (PRA/NSA/IDO)