Sedia Perahu Sebelum Hujan
Penduduk sekitar Danau Tempe beradaptasi dengan bencana banjir rutin. Mereka membuat rumah panggung, rakkiang, titian bambu antar-rumah, menyediakan perahu, serta belajar menjernihkan air banjir untuk keperluan sehari-hari.
Pepatah ”sedia payung sebelum hujan” bagi warga yang tinggal di sekitar Danau Tempe berubah menjadi ”sedia perahu sebelum hujan”. Betapa tidak, Danau Tempe mulai meluap akhir Mei lalu. Sampai kini wilayah di sekitarnya masih banjir. Saat puncak banjir sepanjang akhir Juni hingga Juli, ketinggian air bisa mencapai 3 meter.
Baharuddin Naja (50), warga Kelurahan Laelo, Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo, masih bertahan di rumahnya, sekitar 500 meter dari tepi Danau Tempe. Rumah Baharuddin adalah rumah panggung dengan tiang dan lantai rumah setinggi lebih dari 2 meter dari permukaan tanah. Rumah ini terendam saat ketinggian air mencapai 3 meter. Namun, Baharuddin aman dari rendaman air karena di dalam rumah dibuat lagi panggung setinggi lebih dari 1 meter.
Panggung di dalam rumah panggung ini oleh warga atau suku Bugis pada umumnya disebut rakkiang. Tiangnya terbuat dari bambu atau balok besar dengan papan sebagai lantainya. Di rakkiang ini Baharuddin dan keluarga beraktivitas.
”Kalau air surut, rakkiang dibongkar dan bahannya disimpan. Jika air naik lagi dan ketinggian air dalam rumah sudah 2 meter, biasanya kami membuat rakkiang lebih tinggi lagi, bisa sebatas plafon rumah. Makanya, kebanyakan rumah warga di sini tak ada plafon karena saat air naik, batas plafon bisa jadi rakkiang untuk mengamankan barang atau tempat kami bertahan,” tuturnya, Kamis (12/7/2018).
Kebanyakan rumah warga di sekitar Danau Tempe menghadap ke arah barat atau timur. ”Saat kami harus tinggal di rakkiang yang tinggi dan dekat dengan atap seng rumah, kami tertolong embusan angin barat dan timur hingga tak kepanasan. Kami tinggal membuka satu atau dua bagian seng untuk mendapatkan angin,” ujarnya.
Bertahan di rumah membuat Baharuddin dan warga lain harus bersiasat untuk memenuhi keperluan air bersih. Dengan peralatan sederhana, mereka menjernihkan air banjir untuk keperluan sehari-hari, termasuk air minum. Penjernihan dilakukan dengan mencampur air banjir dengan bubuk aluminium sulfat. Air setengah jernih yang didapat lalu disaring dengan kerikil, arang, dan pasir hingga betul-betul jernih dan tak berbau.
Danau paparan banjir
Danau Tempe yang berada di Daerah Aliran Sungai Bilawalanae di Sulawesi Selatan ini secara alamiah memiliki siklus genangan dan kering sepanjang tahun. Saat ini, danau berjenis paparan banjir tersebut dalam masa genangan tinggi.
Proses alami tersebut kini berubah menjadi banjir karena sedimentasi ataupun tata ruang yang menggunakan daerah ”kering sementara” sebagai permukiman.
Sejak tahun 2009, Danau Tempe menjadi danau prioritas nasional bersama 14 danau lain. Dalam Gerakan Penyelamatan Danau Tempe tahun 2014 tertuang, program superprioritas di danau yang terbentuk dari depresi lempeng bumi Asia-Australia ini adalah mengatasi sedimentasi.
”Danau Tempe terhitung dangkal. Sedimentasi membuat semakin dangkal sehingga air tak tertampung,” kata Fauzan Ali, Kepala Pusat Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kamis, di Jakarta.
Danau Tempe memiliki luas dan kedalaman yang berfluktuasi. Pada musim kemarau, luas danau ini hanya 10.000 hektar dengan kedalaman 0,5-2 meter. Pada musim hujan, luasnya 28.000-43.000 hektar dengan kedalaman 6-9 meter.
Adaptasi
Mempertahankan rumah panggung bagi warga sekitar Danau Tempe merupakan bentuk adaptasi dan antisipasi terhadap banjir. Di wilayah ini banjir menjadi bencana tahunan. Saat meluap, ketinggian air berkisar 30 sentimeter hingga lebih dari 3 meter. Lama banjir bisa sepekan, bahkan dua bulan seperti yang terjadi saat ini.
Selain rakkiang, berbagai langkah dilakukan untuk meminimalkan dampak. Salah satunya menyiapkan perahu. Anak-anak diajar berenang sejak kecil dan memanfaatkan alat sederhana sebagai pelampung, seperti jeriken.
Di sekitar Danau Tempe, hampir setiap rumah punya perahu sebagai alat transportasi. Perahu kayu sederhana berukuran panjang 3-5 meter dan lebar 0,5-1 meter menjadi alat transportasi penting saat banjir.
”Saya punya satu perahu. Jika banjir, saya jadikan alat transportasi harian. Jika tak digunakan, saya sewakan atau untuk mengangkut tetangga. Bayarannya tergantung jarak. Sekitar Rp 5.000. Kalau air surut, perahu saya pakai mencari ikan di Danau Tempe,” kata Ambo Sennang (51), warga Kelurahan Watanglipue.
Manajemen bencana di sekitar Danau Tempe teratur dan terstruktur karena kesadaran warga cukup tinggi. Sebagai contoh, warga membuat titian bambu dengan pegangan di sisi kiri dan kanan. Titian bambu ini menghubungkan satu rumah dengan rumah lain. Dengan demikian, warga bisa saling mendatangi atau menolong jika ada keadaan darurat.
Titian bambu juga menghubungkan rumah ke jalan besar atau jalur evakuasi. Dalam keadaan darurat, titian bambu tak hanya jadi jalan darurat, tetapi juga berfungsi sebagai penunjuk arah. Saat bagian bawah titian bambu terendam, pegangan di sisi kiri kanan jadi penuntun.
Warga juga menjalankan fungsi untuk mengamati tahapan naiknya air. Seperti yang dilakukan Baharuddin. Saat hujan turun dan air mulai naik, dia menghubungi kerabat di beberapa kabupaten tetangga untuk mengecek muka air sungai.
”Kami bisa berhitung seberapa cepat air naik jika hujan di daerah kami bersamaan dengan hujan di daerah tetangga seperti Sidrap dan Soppeng. Ada banyak sungai di daerah tetangga yang airnya masuk ke Danau Tempe. Jika sudah mendapat gambaran, kami menghitung berapa lama waktu hingga air mencapai ketinggian 1 meter misalnya, kemudian kami mengumumkan agar warga bersiap mendirikan rakkiang dan mengamankan barang atau mengungsi,” tuturnya.
Antisipasi juga dilakukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dengan membangun tenda-tenda darurat sebelum warga mengungsi. ”Kami terus berkoordinasi dengan warga setiap kali air mulai naik. Tim di lapangan berkeliling dengan perahu dan menyediakan tumpangan bagi warga yang akan ke pengungsian. Makanya saat banjir besar, warga tetap tenang,” kata Kepala BPBD Wajo, Alamsyah.
Tim gabungan Basarnas, BPBD, Dinas Sosial, PMI, TNI, dan sejumlah instansi terkait sigap mendirikan Posko Bencana Alam di Lapangan Merdeka, di tengah Kota Sengkang, ibu kota Kabupaten Wajo. Di Posko ini setiap hari mereka mendata jumlah rumah dan berbagai fasilitas yang terendam, jumlah pengungsi, hingga kebutuhan pengungsi. Ambulans, perahu karet, hingga mobil bak terbuka disiagakan setiap saat. Dari posko ini pula bahan kebutuhan pengungsi atau warga yang bertahan di rumah didistribusikan oleh tenaga lapangan.
Itu sebabnya, saat ini walau yang terendam lebih dari 14.000 rumah, jumlah pengungsi hanya ratusan orang. Sejauh ini belum ada laporan tentang warga yang sakit terutama penyakit yang kerap menyertai banjir seperti diare dan gatal-gatal. Antisipasi yang dilakukan warga dan pemerintah secara bahu-membahu mampu meminimalkan dampak banjir.
(ICHWAN SUSANTO)