”Nyolat Borohon”, Alunan Doa bagi Leluhur
Masyarakat Dayak Uud Danum, Kalimantan Barat, mewarisi nyolat borohon, tradisi luhur menghormati orangtua yang sudah meninggal sembari mengenang segala jasanya semasa hidup serta mengantar arwahnya menuju surga.
Gapura sederhana dari kayu berhias daun kelapa terpasang di halaman Rumah Radakng atau Rumah Panjang, rumah adat suku Dayak, di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (21/5/2018). Di tengah-tengah pintu masuk gapura, terdapat kayu dibungkus dengan kain. Saat upacara penyambutan, kayu tersebut akan dipotong oleh tamu.
Salah satu sisi gapura dipadati keluarga yang melaksanakan nyolat borohon dan di sisi lainnya terdapat para tamu. Keluarga penyelenggara nyolat borohon dan tamu saling berhadapan di gapura itu.
Pantun dengan bahasa Dayak Uud Danum dilantunkan perwakilan pihak keluarga. Inti pesannya mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada tamu yang akan masuk ke lokasi acara melalui gapura. Pantun dinyanyikan dengan nada mendayu-dayu menyentuh kalbu. Setelah itu, pantun balasan dilantunkan pula dari perwakilan pihak tamu.
Acara berbalas pantun paripurna. Giliran dua pemuda berhadapan di tengah kerumunan, sedangkan yang lainnya sedikit menepi. Keduanya hanya dibatasi kayu yang dipasang di pintu masuk gapura. Musik gong ditabuh sedikit rancak.
Sejenak berdiam, kedua pemuda tadi seketika mengeluarkan beberapa gerak silat walau tak berapa lama. Di akhir atraksi silat, tangan kedua pemuda tersebut beradu kuat, seolah sedang menyabung kehebatan. Sesaat berselang, keduanya tampak bersalaman.
”Silat ini memang tidak memiliki makna khusus dalam upacara ini. Atraksi ini hanya untuk memberikan hiburan bagi para tamu undangan sebelum masuk ke lokasi acara. Atraksi silat akan membuat kegiatan lebih menarik,” ujar Andreas Kondur, salah satu tetua adat Dayak Uud Danum dari Kabupaten Sintang.
Seusai atraksi silat, tetabuhan gong berhenti. Selanjutnya, perwakilan tamu undangan diminta memotong kayu di pintu gapura dengan mandau, senjata tradisional masyarakat Dayak. Pemotongan kayu sebagai simbol menghalau segala gangguan yang mungkin terjadi. Sesudahnya, para tamu tadi satu per satu masuk ke tempat yang telah disiapkan. Setelah menempatkan diri di posisi masing-masing, semuanya siap melanjutkan ritual selanjutnya.
”Nganjan”
Di halaman tempat acara, sebuah tempayan berdiri tegak di atas susunan kayu. Para undangan dan pihak keluarga membentuk dua lingkaran besar mengelilingi tempayan itu. Tangan mereka mulai meliuk-liuk dengan gemulai, menari mengelilingi tempayan bersama-sama sembari diiringi tabuhan gong. Ritual itu disebut nganjan.
Mereka menari sembari mengelilingi tempayan sebanyak tiga kali. Tarian itu sebagai bentuk persembahan kepada Sang Pencipta. Selain tempayan, ada juga daging yang disiapkan di dekatnya. ”Saat menari, tangan mereka menengadah ke atas. Itu sebagai bentuk komunikasi kami dengan Sang Pencipta,” kata Andreas.
Tradisi nyolat borohon hari itu sebagai bentuk penghormatan keluarga kepada almarhum Sersan Mayor Bahen Ofang. Dia meninggal pada 2000. Semasa hidup, dia dikenal sebagai anggota TNI Angkatan Darat.
Saat masih menjadi anggota TNI, pada 29 Mei 1968 dia pernah sangat berjasa menyelamatkan Panglima Daerah Militer XII/Tanjungpura yang saat itu dijabat Brigadir Jenderal (TNI) Antonius Josep Witono Sarsanto dari kecelakaan helikopter.
Kala itu, helikopter yang mereka tumpangi tiba-tiba bergerak tidak wajar saat akan mendarat di Kabupaten Bengkayang. Melihat hal tak beres, Bahen Ofang merangkul Brigjen (TNI) Antonius Josep Witono Sarsanto lalu membawanya menjatuhkan diri dari ketinggian sekitar 4 meter ke semak belukar untuk menyelamatkan diri.
Beberapa saat setelah keduanya menjatuhkan diri, helikopter pun terempas dan akhirnya meledak. Awak yang masih tinggal di dalam helikopter meninggal. Sementara, Bahen Ofang dan Antonius Josep Witono Sarsanto selamat dan hanya lecet. Peristiwa itu terjadi pada masa operasi penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) 1966-1974.
Menurut Andreas, tradisi nyolat borohon itu sebagai ungkapan kebanggaan keluarga terhadap Bahen Ofang karena pernah berjasa menyelamatkan nyawa seorang perwira tinggi TNI AD. ”Ini juga untuk merenungkan segala perjuangannya. Selain itu, bentuk keikhlasan melepas almarhum menuju tempat keabadian,” tuturnya.
Menjaga tradisi
Tradisi itu sebetulnya dilaksanakan selama tiga hari. Jika dilaksanakan tiga hari disebut tiwah. Namun, karena keterbatasan waktu, acara biasa disingkat menjadi satu hari dan disebut nyolat borohon. Walau begitu, hal itu tak mengurangi makna di setiap bagian upacara.
Dita Ofang, salah satu anak almarhum Bahen Ofang, mengatakan, selain bentuk penghargaan kepada orangtua, pelaksanaan acara itu juga upaya melestarikan budaya yang sudah langka sehingga tidak punah.
Biasanya, momen itu juga dimanfaatkan untuk berjumpa dengan sanak saudara. Keluarga yang tinggal di sejumlah wilayah dengan berbagai keyakinan berkumpul serta berjumpa dengan sahabat dan handai tolan yang diundang.
Tradisi serupa juga ada di sejumlah subsuku Dayak di Kabupaten Ketapang. Misalnya pada masyarakat Dayak Gerunggang, mengenal tradisi nganjan. Hal itu juga mengantarkan arwah orangtua yang sudah meninggal menuju alam keabadian.
Dalam tradisi masyarakat Dayak Gerunggang itu, orang yang sudah meninggal diyakini tidak semuanya langsung menuju surga. Ada yang tersesat sehingga perlu dituntun menuju surga melalui nganjan. Tradisi itu juga menjadi ungkapan kerinduan dan penghormatan kepada orangtua yang sudah lama meninggal.
Saat melaksanakan tradisi nganjan, pemakaman biasanya diperbarui. Ada juga yang menggali kembali tulang yang lama terkubur, dimasukkan ke dalam tempayan yang kemudian disimpan ke dalam tempat khusus yang disebut sandong. Sandong terbuat dari kayu yang menyerupai menara. Di puncaknya disimpan tempayan tersebut.
Dalam nyolat borohon, warga Dayak Uud Danum melantunkan penghormatan dan doa kepada yang telah tiada. Di dalamnya juga dikemas seni tradisi yang patut dilestarikan.