MEDAN, KOMPAS - Peningkatan produktivitas sawit petani menjadi tantangan besar pengembangan industri sawit nasional. Produktivitas sawit petani hanya 2-3 ton minyak sawit mentah per hektar per tahun, jauh di bawah potensinya, 6 ton per hektar per tahun. Penyebabnya, peremajaan sawit terlambat.
”Ini masalah paling serius industri sawit Indonesia. Padahal, peningkatan produktivitas sawit petani 1 ton per hektar saja bisa menambah pendapatan
Rp 31 triliun per tahun,” kata Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi saat berbicara pada International Oil Palm Conference (IOPC), di Medan, Selasa (17/7/2018).
Direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit Hasril Hasan Siregar dan Ketua Dewan Sawit Malaysia Datuk Kalyana Sundram juga menjadi pembicara dalam IOPC bertema ”Mengatasi Ketidakseimbangan Pasar, Inovasi, dan Teknologi Menjawab Ketidakseimbangan Pasar Global”.
Bayu, yang juga mengajar di Departemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor, mengatakan, luas kebun sawit petani sekitar 4,5 juta hektar atau 32 persen dari 14 juta hektar kebun sawit di Indonesia. Produktivitas kebun sawit petani sangat memengaruhi industri sawit nasional. Peningkatan produktivitas 1 ton per hektar akan meningkatkan produksi minyak sawit mentah (CPO) nasional 4,5 juta ton senilai Rp 31 triliun per tahun.
Rendahnya produktivitas sawit petani, kata Bayu, terutama karena peremajaan tanaman yang mandek. Pemerintah menargetkan peremajaan 205.000 hektar kebun sawit pada 2017 dan 2018. Namun, hingga pertengahan 2018, baru 9.200 hektar kebun sawit yang diremajakan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau 4,5 persen dari target.
Peremajaan dari koperasi petani hanya sekitar 1.100 hektar atau 0,5 persen dari target.
Tantangan lain
Selain rendahnya produktivitas sawit petani, tantangan lain industri sawit nasional adalah efisiensi, legalitas lahan, infrastruktur perkebunan yang belum memadai, belum diterapkan industri berkelanjutan,
serta penolakan penggunaan
biosolar dan produk turunan sawit lain di sejumlah negara.
Hasril mengatakan, pihaknya terus melakukan penelitian untuk memajukan industri sawit nasional. ”Kini, industri sawit sudah menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Industri ini menyerap banyak tenaga kerja, mengurangi kesenjangan kota dengan desa, dan menjadi penggerak roda ekonomi daerah,” katanya.
Menurut Sundram, sebagai negara pengekspor sawit, Malaysia dan Indonesia harus bisa menjawab permintaan pasar. Industri sawit harus bisa menerapkan industri keberlanjutan dari hulu hingga hilir.
Sundram menyatakan, setiap negara penghasil sawit harus punya standar keberlanjutan. ”Standar keberlanjutan dalam negeri harus tinggi. Kita tidak bisa hanya mengikuti standar yang ditetapkan negara lain karena keputusan mereka sangat dipengaruhi politik dagang. Baru saja kita memenuhi satu syarat sertifikasi, standardisasi lain sudah muncul,” katanya. (NSA)