Monumen Kesetiakawanan di Pelosok Garut
Kesetiaan warga Desa Tenjonagara, Kecamatan Sucinaraja, Kabupaten Garut, Jawa Barat, menjaga tempat tinggal berbuah manis. Para donatur, melalui Dana Kemanusiaan Kompas, hadir berbagi cinta dan bahagia.
Kenangan Mamat Hermawan (48), warga Kampung Sagara, Desa Tenjonagara, kembali pada peristiwa 36 tahun lalu. Sekolahnya, SDN 03 Tenjonagara, rusak berat akibat abu letusan Gunung Galunggung. Ruang sekolah tak bisa digunakan. Dia harus belajar seadanya di tenda pengungsian dan rumah warga.
”Kondisi sekolah rusak seperti kandang ayam. Abu Galunggung masih turun hingga setahun. Setelah itu, di mana-mana hanya ada abu tebal,” tuturnya di Garut, Rabu (18/7/2018).
Harian Kompas edisi Sabtu 11 September 1982 menuliskan, 40 SD rusak ringan, 45 rusak berat, dan 9 SD ambruk di Garut. SDN 03 Tenjonagara, berada dekat Galunggung, merupakan salah satu bangunan yang ambruk.
Bekerja sama dengan Care, organisasi sosial dengan donatur beragam negara, harian Kompas ikut turun tangan. Lewat Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) yang berdiri tak lama setelah Galunggung meletus, perbaikan dilakukan. Enam ruang belajar dibangun pertengahan 1984 dan rampung 17 Januari 1985.
Hingga kini, enam kelas itu masih kokoh. SDN 03 Tenjonagara, berjarak 30 kilometer dari pusat kota Garut, dipisahkan jalan rusak dan tebing curam, tetap menjadi tumpuan sekitar 100 siswa menimba ilmu.
”Saat itu, senangnya bukan main. Kami punya bangunan sekolah baru. Tak menyangka, bangunan sekolah masih berdiri. Anak saya lulus di SD ini. Dua cucu saya juga masih sekolah di sini,” katanya.
Bagi DKK, sekolah ini adalah monumen bersejarah. SDN 03 Tenjonagara merupakan bangunan pertama yang dibangun DKK. Dari sini, perjalanan DKK dimulai hingga sekarang, menyalurkan bantuan pembaca harian Kompas dalam beragam kegiatan sosial di sejumlah daerah di Indonesia.
Tidak hanya ruang kelas, beragam fasilitas umum yang dibangun kala itu masih digunakan warga. Jembatan gantung Leuwibeusi di atas Sungai Cinangka, misalnya. Keberadaannya masih penting sebagai akses transportasi warga meski ada jembatan beton buatan pemerintah daerah di sebelahnya.
Amih (64) masih ingat, kala itu, ratusan warga bergotong royong mengangkat batu besar meniti perbukitan. Mereka semua membantu tanpa imbalan. Perhatian harian Kompas dan Care menjadi semangat untuk bangkit kembali dari keterpurukan akibat bencana alam.
”Kalau tidak salah, butuh empat bulan untuk merampungkan sekolah. Lelah itu dibayar kegembiraan anak-anak yang bisa sekolah lagi,” kata Amih.
Selain itu, dibangun dua saluran irigasi yang mengairi lebih dari 150 hektar sawah warga. Dengan sejumlah perbaikan yang dilakukan warga, saluran air bersih dari tiga mata air di Tenjonagara hingga kini masih menjadi infrastruktur vital bagi lebih dari 1.200 warga yang sebagian besar adalah petani.
”Semuanya sangat membantu kami yang tinggal di daerah pegunungan, jauh dari kampung tetangga, apalagi pusat kota Garut. Karena sangat berharga, kami terus menjaga sampai kini,” ujar Amih.
Perpustakaan baru
Kesetiaan itu mempertemukan kembali DKK dengan warga Tenjonagara. Tahun ini, jiwa sosial pembaca harian Kompas diwujudkan lewat renovasi perpustakaan SDN 03 Tenjonagara seluas 36 meter persegi lengkap dengan ratusan buku bacaan. Selain itu, dibangun talut dan pagar sekeliling sekolah sepanjang 120 meter. Kontur tanah di wilayah itu bertingkat, talut dan pagar perlu untuk keselamatan siswa. Seluruhnya dikerjakan selama 60 hari dengan biaya Rp 195 juta.
Seperti para pendahulu, warga terlibat membangun kedua sarana prasarana. Salah satunya, Itang (48). Dia ikut mengangkut batu, menyusun bata, dan mencangkul tanah. Itang percaya, apa yang dilakukan bakal dinikmati anak keturunannya kelak.
”Di tengah keterbatasan akses dan penghasilan warga, SD ini menjadi tumpuan bagi anak cucu kami untuk terus sekolah,” katanya.
Rabu siang, begitu perpustakaan diresmikan, belasan anak menyerbu perpustakaan berdinding putih itu. Bangunan yang awalnya hampir ambruk, kini direnovasi jauh lebih kokoh.
Najla Meisa Fauziah (10), siswa kelas VI SDN 03 Tenjonagara, mengatakan, lebih semangat belajar saat sekolahnya punya perpustakaan anyar. Untuk menunjang hobinya menggambar, kini ia punya banyak referensi lewat ratusan buku yang disediakan di perpustakaan.
Sella Isabela (11), teman sekelas Najla, bisa membaca banyak buku cerita keluaran terkini. Sebelumnya, ia hanya berkutat dengan buku pelajaran karena minim bahan bacaan. Siang itu, ia duduk di lantai membaca buku-buku berisi kisah keteladanan.
”Cita-cita saya ingin jadi ustazah. Saya ingin punya banyak cerita yang nantinya bisa disampaikan kalau tausiah,” katanya penuh kegembiraan.
Dari desa terpencil di ujung selatan Garut, kesetiaan di SDN 03 Tenjonagara membuktikan kesetiakawanan tak akan pernah kehilangan bentuknya. Meski dipisahkan tebing curam dan jalan rusak, semuanya terus tumbuh di sana ketika banyak orang mau peduli.