”Gawai Nibakng”, Ucapan Syukur, dan Pencucian Tengkorak
Tradisi ”nibakng” terus dilestarikan oleh masyarakat Dayak Bidayuh, penganut kepercayaan nenek moyang. Ritual langka itu kini dijadikan sebagai agenda wisata tahunan.
Masyarakat Dayak Bidayuh di Dusun Sebujit, Desa Hlibuei, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, masih melestarikan tradisi nenek moyang mereka yang disebut gawai nibakng (nyobeng). Tradisi bentuk rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa disertai pencucian tengkorak kepala manusia.
Suasana di Dusun Sebujit mulai semarak pada Rabu (13/6/2018) siang. Di depan rumah warga yang masih menganut kepercayaan nenek moyang terpasang bendera warna putih yang bermakna kesucian. Di halaman rumah mereka didirikan tempat khusus terbuat dari bambu sebagai tempat sesajian yang disebut sangial. Hari itu, ritual nibakng dimulai.
Di Dusun Sebujit masih ada 400 orang yang menganut keyakinan nenek moyang dari 1.500 orang penduduknya. Hari itu, ritual sudah dimulai di rumah-rumah penduduk. Ritual dilakukan di rumah masing-masing dengan dipandu tetua adat yang ahli dalam ritual tersebut.
Batu (70), salah satu tetua adat di kampung itu yang ahli dalam ritual nibakng, siang itu sedang berada di rumah salah satu warga untuk ritual nibakng.
Segala perlengkapan untuk ritual sudah disiapkan. Batu menggunakan ikat kepala putih simbol kesucian dan celana kain merah simbol keberanian. Batu sendiri merupakan keturunan kesembilan yang menganut kepercayaan nenek moyangnya.
”Sudah tidak banyak lagi kami yang bisa melakukan ritual nibakng. Kami sudah banyak yang tua,” kata Batu.
Pada hari Rabu dan Kamis (13-14/6/2018), ritual masih dilakukan bersifat pribadi di rumah. Setelah itu, pada Jumat hingga Minggu (15-17/6/ 2018), dilaksanakan secara besar-besaran di rumah balug, rumah adat Dayak Bidayuh serta di halamannya. Selama Jumat-Minggu acara sudah terbuka untuk umum. Di sekitar halaman rumah balug, janur kuning sudah terpasang dan rapi. Tempat duduk dari bambu sudah terpasang di sekeliling halaman menyambut ribuan wisatawan. Mereka ingin menyaksikan tradisi yang sudah nyaris punah.
Ucapan syukur
Kepala Desa Hlibuei Deki Suprapto mengatakan, gawai nibakng merupakan ungkapan syukur kepada Yang Mahakuasa atas panen. Selain itu, ritual dimaksudkan untuk membersihkan tengkorak kepala manusia dari tradisi ngayan (mencari kepala manusia). Tradisi itu kini sudah tidak ada lagi.
Jumat (15/6), ritual mulai terbuka untuk umum, dan sekitar pukul 05.00, ketua adat setempat memulai ritual dengan memanggil roh leluhur. Seluruh warga kampung menggunakan kain merah sebagai celana dan kain putih untuk ikat kepala.
Sekitar pukul 09.00 dilakukan acara penyambutan tamu secara adat di ujung kampung yang disebut nabuei. Acara ini untuk menolak segala malapetaka dan berharap yang datang memberikan berkah bagi kampung.
Seusai acara, tamu dan warga serta penari melakukan arak-arakan ke rumah balug sembari diiringi tari-tarian. Rumah balug memiliki tinggi 10 meter dengan diameter 6 meter, yang dibangun tahun 1997.
Pada malam harinya, tengkorak kepala manusia dikeluarkan untuk dimandikan dan diberi rempah, lalu dikembalikan ke tempat pusaka kampung.
Tengkorak kepala manusia itu hasil dari ngayau. Kala itu, sebelum seseorang mencari kepala, ia harus melakukan ritual yang disebut menenung. Dengan ritual itu, orang yang mencari kepala manusia akan mengetahui apakah ia hari itu akan mendapatkan kepala atau tidak.
Jika tidak ada petunjuk bagus, tidak akan berangkat. Namun jika ada penunjuk bagus, seseorang akan berangkat mencari kepala. Kepala yang dicari adalah kepala orang yang memiliki kesaktian tinggi ataupun pimpinan di sebuah kampung.
”Tengkorak kepala yang masih ada sekarang ini juga tengkorak kepala orang terpandang zaman dahulu,” kata Deki.
Saat kepala sudah didapatkan disimpan di ujung kampung. Beberapa hari kemudian baru dibersihkan sehingga tinggal menyisakan tengkorak. Roh tengkorak itulah yang dijadikan semacam perantara bagi mereka untuk memanjatkan doa kepada Yang Mahakuasa.
Meskipun kini budaya ngayau sudah tidak ada, tengkorak hasil ngayan tetap disimpan dan dikeluarkan pada saat gawai nibakng oleh masyarakat penganut kepercayaan itu.
Pariwisata
Deki menuturkan, pada tahun 1970-an, agama Kristen Protestan dan Katolik masuk ke daerah itu. Kini sebagian besar masyarakatnya menganut dua agama itu. Dari 1.500 total penduduk kampung, tinggal 400 orang yang menganut kepercayaan nenek moyang.
Acara itu kini menjadi daya tarik wisatawan. Setiap tahun ribuan wisatawan datang ke Sebujit. Bahkan, panitia menyiapkan tempat penginapan khusus bagi para wisatawan yang hendak menginap. Pada saat gawai nibakng, warga yang bekerja di Malaysia pulang ke kampung.
Sekretaris Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Bengkayang Ricky H Silalahi mengatakan, acara itu merupakan agenda pariwisata tahunan. Untuk mengembangkannya sering diadakan gelar budaya serumpun dengan mengundang komunitas Dayak Bidayuh dari Malaysia.
”Kami mempromosikan agenda pariwisata ini hingga ke Jakarta di Taman Mini Indonesia Indah. Bahkan, tradisi nibakng atau nyobeng ini sudah menjadi warisan budaya tak benda Indonesia,” kata Ricky.