DELI SERDANG, KOMPAS — Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia, organisasi masyarakat adat yang memperjuangkan lahan mereka yang berada di sepanjang pantai timur Sumatera Utara, menggelar kongres IX. Kongres yang digelar di tengah Kampong Bandar Setia, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sabtu (21/7/2018) hingga Senin (23/7/2018), itu mengusung tema ”Menata organisasi BPRPI menuju masa depan untuk percepatan pengakuan, pengembalian, dan pemenuhan hak wilayah adat rakyat penunggu secara komunal”.
Kongres diikuti 49 kampong dari 76 kampong yang diundang yang kini berada di wilayah administrasi Kota Medan, Kota Binjai, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Langkat.
Ketua Umum Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Harun Nuh mengatakan, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kongres kali ini lebih menekankan bagaimana strategi organisasi melangkah menghadapi kebijakan pemerintah, seperti aturan tata ruang, sikap organisasi terhadap kebijakan Nawacita Presiden Joko Widodo, kebijakan distribusi lahan pemerintah, sertifikasi komunal dan individu yang dijalankan pemerintah, hingga isu hak-hak masyarakat adat.
”Dulu kongres lebih mengedepankan bagaimana organisasi menghadapi serangan lawan, baik dari perusahaan yang mengambil lahan maupun aparat,” kata Harun. Saat ini, lanjut dia, pemerintah kencang memberikan sertifikat secara individu. Selain itu, ada daerah-daerah yang sudah memiliki perda masyarakat adat. ”Ini menjadi pertanyaan bagi kami apa yang bisa kami lakukan,” kata Harun.
Pertanyaan itu muncul karena kondisi rakyat penunggu berbeda dengan masyarakat adat pada umumnya. Lahan rakyat penunggu berada di tengah kota dan kawasan yang terus berkembang secara ekonomi. Investasi dan perumahan milik individual tumbuh subur sehingga lahan menjadi rebutan. ”Ini justru menguji masyarakat adat yang ada di wilayah yang ekonominya tumbuh cukup tinggi,” kata Harun.
Saat ini, kata Harun, intimidasi dan ancaman kepada anggota BPRPI jauh berkurang. Perjuangan BPRPI pun lebih terorganisasi. ”Berkas-berkas dokumen kami sudah kami layangkan ke Kantor Presiden, kami berharap dibaca Bapak Presiden sehingga ada solusi,” kata Harun. Pihaknya berharap Presiden bisa mengeluarkan perpres untuk menunjuk tanah BPRPI.
Organisasi yang sudah berumur 65 tahun itu kini memiliki 36.000 anggota yang tersebar di 76 kampong.
Setelah kolonialisasi, Rakyat Penunggu menunggu kebijakan pemerintah untuk mengembalikan lahan kepada mereka. Namun, pemerintah menasionalisasi perkebunan di Sumatera Timur sehingga tanah tidak kembali kepada rakyat penunggu.
Harun mengatakan, pada 1981, Presiden Soeharto telah menginstruksikan Sekretariat Negara untuk memberikan hak lahan kepada masyarakat penunggu seluas 10.000 hektar. Waktu itu, Gubernur Sumatera Utara adalah WP Tambunan.
Gubernur memerintahkan Bupati Deli Serdang dan Bupati Langkat mengalokasikan lahan bagi rakyat penunggu. Sebanyak 2.700 hektar lahan di Langkat dan 7.200 hektar lahan di Deli Serdang dikeluarkan melalui SK Menteri Keuangan, Menteri Agraria, dan Menteri Pertanian. Namun, lahan dimaksud tidak sampai ke Rakyat Penunggu dan justru diambil oleh pihak-pihak lain.
Saat ini, BPRPI hanya menguasai 2.300 hektar lahan di Deli Serdang dan Langkat sejak 2016 dari 300.000 hektar lahan yang dikuasai untuk perkebunan tembakau deli pada akhir abad ke-19 hingga abad ke-20. Lahan konsesi itu berada di antara Sungai Wampu di Langkat dan Sungai Ular di perbatasan Kabupaten Deli Serdang dengan Serdang Bedagai.
Rakyat Penunggu semakin populer setelah investasi internasional berkembang di Sumatera Timur, setelah Jacobus Nienhuis membuka perkebunan tembakau deli di Sumatera Timur pada 1863. Sebelum hadirnya perkebunan tembakau, nama yang akrab disematkan kepada mereka sebagai penduduk pembuka kampung adalah rakyat penonggol.
Mereka disebut rakyat penunggu karena mereka adalah penghuni yang mendiami/menunggui secara tetap tanah yang mereka buka sebagai perladangan di sepanjang Sumatera Timur atau pantai timur Sumatera Utara sekarang. Namun, istilah ini berkembang menjadi masyarakat adat yang mengelola lahan tetap di pinggiran perkebunan, termasuk di dalamnya konsesi perkebunan setelah kehadiran investasi ke Sumatera Timur.
Untuk lahan konsesi, mereka mengelola lahan sebelum atau sesudah lahan digunakan oleh perkebunan, utamanya perkebunan tembakau. Warga hanya bisa mengelola lahan saat tanah tidak ditanami tembakau karena sistem penanaman tembakau yang harus berpindah hingga tiga kali agar tanah kembali subur. Seiring perkembangan kota, lahan kini sudah dikuasai banyak pihak.
Masyarakat dinamis
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi yang hadir di kongres sebagai peninjau mengatakan rakyat penunggu adalah masyarakat adat yang terancam punah karena hidup kesehariannya, spiritualitasnya, dan cara pandangnya yang berubah dari akar budayanya karena penghancuran lebih dari seabad.
Namun, apa yang terjadi pada masyarakat penunggu juga menunjukkan bahwa masyarakat adat sangat adaptif dan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Keadatan mereka ditelusur dari kepemilikan lahan yang hingga kini masih diperjuangkan.
Apa yang terjadi kepada masyarakat penunggu menunjukkan bahwa masyarakat adat sangat adaptif dan dinamis mengikuti perkembangan zaman.
Selain karena rakyat penunggu adalah anggota AMAN, kata Rukka, pihaknya meninjau kongres karena dinamika yang terjadi kepada masyarakat adat, terutama pada keanggotaannya yang semula berbasis individu, kini diwacanakan berbasis kampong.