Pada Juni 1856, saat menyeberang dari Bali menuju Lombok, Alfred Russel Wallace menemukan keunikan. Kepada Samuel Stevens, rekannya di Inggris, ia menulis surat bahwa meski tanah Bali dan Lombok sama, ketinggian dan iklim serupa, jenis burungnya sangat berbeda. Keunikan itu menginspirasi naturalis asal Inggris tersebut tentang seleksi alam.
Wallace sangat menaruh perhatian pada burung. Kemampuan identifikasinya pun mengagumkan. Hanya dengan berbekal buku Charles Lucien Bonaparte, ilmuwan Perancis yang juga dikenal sebagai seorang ornitologis, Wallace mampu mengidentifikasikan hampir setiap jenis burung yang ia temukan. Apabila ditemukan burung yang sulit diidentifikasi, ia akan menyebut bahwa spesies itu adalah spesies baru atau belum terdeskripsi.
Selama petualangannya ke Nusantara, 1854-1862, Wallace telah mengumpulkan 8.050 spesimen burung. Dari jumlah itu, ia menyimpan sekitar 3.000 spesimen, yang mewakili lebih dari 1.000 spesies, untuk koleksi pribadi. Adapun sisanya ia jual ke kolektor dan museum di Eropa untuk membiayai penelitiannya.
”Wallace memiliki penguasaan yang baik tentang bahasa Latin dan memiliki pemahaman luar biasa soal ciri khas burung. Dia orang Barat pertama yang mendeskripsikan perilaku dan ciri khas burung endemis di Nusantara, seperti pertunjukan perkawinan spektakuler burung cenderawasih,” kata George Beccaloni, peneliti sekaligus pendiri AR Wallace Memorial Fund, yang ditemui Kompas di Natural History Museum di London, Inggris, beberapa waktu lalu.
Menurut George, pengamatan Wallace tentang burung yang berbeda di Bali dan Lombok membawanya menemukan apa yang sekarang disebut sebagai Garis Wallacea atau Wallacea Line. Ini adalah garis imajiner yang membentang melintasi Selat Lombok, kemudian menuju utara di antara Kalimantan dan Sulawesi, dan sekitarnya hingga Maluku ke Nusa Tenggara.
Beberapa tahun kemudian, Wallace menemukan teori bahwa di masa lalu, kawasan Wallacea terpisah dari Benua Asia ataupun Papua dan Australia. Lantaran dikelilingi oleh lautan dalam, hal itu berakibat terjadi pembentukan spesies baru dengan pengaruh isolasi geografi. Keterisolasian menciptakan seleksi alam, hanya yang kuat yang bertahan. Yang lemah akan mati. Inilah yang ia sebut sebagai proses evolusi yang mendasari munculnya spesies baru.
Burung-burung Wallacea
Data dari Burung Indonesia, tercatat ada 1.769 spesies burung di Indonesia pada 2017, sejumlah 512 di antaranya adalah spesies endemis. Kawasan Wallacea dikenal memiliki kekayaan jenis burung yang luar biasa, termasuk jenis mamalia.
Peneliti burung pada Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewi Malia Prawiradilaga, menuturkan, spesies burung di kawasan Wallacea diperkirakan sekitar 700 jenis. Pesaing terdekatnya adalah Papua, terutama untuk jenis asli atau endemis. Namun, ujarnya, jumlah tersebut bisa terus bertambah seiring dengan penemuan-penemuan baru di lapangan.
”Ancaman utama kekayaan burung Wallacea adalah perburuan liar dan penyempitan habitat akibat permukiman, perladangan, ataupun pertambangan,” ucap Dewi yang lebih dari 35 tahun meneliti burung.
Kepala Seksi Wilayah I pada Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Halmahera, Maluku Utara, Raduan membenarkan bahwa perburuan liar adalah salah satu ancaman terhadap kelestarian burung-burung endemis yang berdiam di taman nasional tersebut. TN Aketajawe Lolobata menjadi rumah bagi 25 jenis endemis burung, salah satunya adalah bidadari halmahera (Semioptera wallacei) yang sangat dikagumi Wallace ketika berkunjung ke Pulau Bacan (Oktober 1858-April 1859).
”Masyarakat banyak yang belum paham bahwa sejumlah jenis burung dilindungi oleh undang-undang dan keberadaannya amat penting bagi alam,” kata Raduan.
Mengapa burung penting?
Mao Zedong, pemimpin Partai Komunis China, pada 1958 mengumumkan kampanye pemberantasan hama, salah satunya adalah burung pipit. Burung pipit termasuk salah satu binatang yang disalahkan Mao lantaran kegemarannya memakan biji gandum milik petani.
Jutaan petani di desa-desa diwajibkan memukul apa saja yang menimbulkan bunyi gaduh, termasuk berteriak sekencang-kencangnya. Lantaran kaget dengan suara-suara itu, burung takut mendarat. Mereka kelelahan, jatuh ke tanah, dan dibantai.
Kelangkaan burung pipit membuat populasi belalang melonjak berkali-kali lipat karena predator alami mereka nyaris tak ada. Belalang-belalang bebas memakan semua tanaman petani. Tahun berikutnya, China mengalami gagal panen. Wabah kelaparan mengakibatkan jutaan orang tewas.
Kisah itu ditulis oleh Tim Luard, wartawan senior BBC untuk kawasan Asia Timur, dan dimuat di laman kantor berita tersebut pada 2004. Peristiwa itu menegaskan bahwa peran burung, sekecil apa pun ukurannya, tak bisa diremehkan. Burung adalah salah satu mata rantai makanan dalam sebuah ekosistem.
Dewi memberikan contoh lain. Perenjak (Prinia familiaris) adalah jenis burung yang gemar memakan ulat pohon pisang. Burung ini kerap ditangkap untuk dipelihara. Akibatnya, hama ulat pisang merajalela dengan makin berkurangnya predator alami mereka di alam.
Burung, lanjut Dewi, selain memberikan kesenangan bagi manusia karena bulu dan suaranya yang indah, juga berperan sebagai penyambung kehidupan melalui penyerbukan bunga, penebar biji-bijian, dan pengendali hama pertanian.