Menghalau ”Gelap” di Dusun Kuang
Puluhan tahun masyarakat Dusun Kuang, pedalaman Kalimantan Barat, menanti aliran listrik. Anak-anak belajar dengan pelita. Petugas kesehatan membantu warga yang bersalin dengan cahaya senter. Dengan dana desa, mereka bisa keluar dari masa ”gelap”.
Mita (30), operator pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) Dusun Kuang, Desa Sempatung, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, sibuk mengecek komponen PLTMH, Senin (16/7/2018). Dusun Kuang berjarak 224 kilometer dari Pontianak, ibu kota Provinsi Kalbar.
Dengan teliti, Mita memeriksa sejumlah bagian, salah satunya turbin. Ia juga memeriksa pipa saluran air untuk memastikan tidak ada gangguan pada PLTMH sehingga listrik tetap menyala.
Selain Mita, ada dua orang lain menjadi operator PLTMH. Mereka dilatih khusus untuk memelihara PLTMH. Dengan demikian, saat ada gangguan, PLTMH bisa segera diperbaiki.
”Beginilah kegiatan kami sebagai operator. Secara rutin memeriksa, mulai dari pembangkit hingga instalasi di rumah warga. Jika ada instalasi di rumah warga yang terganggu, kami perbaiki,” kata Mita.
PLTMH dibangun tahun 2017 menggunakan alokasi dana desa. Mulai beroperasi menerangi kampung awal 2018. ”Kami mengalokasikan dana desa Rp 257 juta untuk pembangunan PLTMH. Kapasitasnya 50.000 watt,” ujar Kepala Desa Sempatung, Thimotius, Senin sore.
Dusun Kuang berada di perbukitan yang memiliki sumber air potensial untuk dijadikan PLTMH. PLTMH itu dikelola badan usaha milik desa (BUMDes).
Sangat dinantikan
Menikmati listrik sangat dinantikan 158 kepala keluarga di Dusun Kuang. Sebelum ada PLTMH, warga menggunakan pelita berbahan bakar minyak tanah sebagai sumber penerangan. Puluhan tahun lalu, warga harus membeli minyak tanah ke Serimbu, ibu kota Kecamatan Air Besar, dengan berjalan kaki sejauh 39 kilometer menyusuri jalan setapak. Bahkan, sering harus berbelanja ke Entikong, perbatasan dengan Malaysia.
”Warga berjalan kaki selama 12 jam untuk membeli 5 liter minyak tanah dengan harga Rp 10.000 per liter waktu masih menggunakan minyak tanah. Itu untuk kebutuhan sebulan. Mereka harus menginap di rumah saudara mereka di ibu kota kecamatan semalam dan keesokan harinya baru kembali ke kampung,” tutur Thimotius.
Bagi keluarga yang sedikit mampu, mereka menggunakan genset. Namun, hanya beberapa keluarga yang memiliki genset. Mereka membeli solar ke Serimbu lewat jalur sungai. Biaya pembelian solar Rp 900.000 per bulan. Untuk menghemat, listrik hanya dinyalakan pukul 18.00-23.00.
Tahun 2014, saat jalan sudah diperlebar, masyarakat bisa mengendarai sepeda motor untuk membeli bahan bakar ke ibu kota kecamatan. Namun, tetap perlu waktu dua hari karena jalan rusak parah.
Saat minyak tanah tidak ada, masyarakat mengganti penerangan dengan senter. Biaya untuk membeli baterai senter Rp 12.000-Rp 22.000 per bulan, tergantung pemakaian.
Sulitnya sumber penerangan waktu itu berdampak pada pelayanan kesehatan. Saat ada warga yang bersalin malam hari, petugas kesehatan menggunakan senter sebagai penerangan untuk membantu persalinan. ”Ada rasa khawatir dengan terbatasnya penerangan. Namun, kami berupaya sekuat tenaga,” kata bidan di kampung itu, Agustina Ria.
Ada juga warga yang meminjam mesin genset kepada warga lain untuk penerangan saat ada yang bersalin. Namun, lebih sering menggunakan senter saat membantu warga bersalin di malam hari. ”Kalau ada orang kecelakaan, sulit juga menjahit luka pada malam hari. Namun, kini tidak terkendala masalah penerangan lagi,” ujarnya.
Romi (30), warga setempat, pernah mengalami saat istrinya bersalin setahun lalu. Saat itu, penerangan yang ada di rumahnya hanya senter. Romi sempat khawatir baterai senter habis sebelum proses persalinan selesai. Apalagi, kalau proses persalinan tidak lancar. ”Untunglah istri saya melahirkan dengan lancar dan selamat waktu itu,” ujar Romi.
Mas Dedi (32), warga lain, mengatakan, anak-anak kesulitan belajar jika hanya menggunakan pelita saat belum ada PLTMH. Terkadang, jika ada pekerjaan rumah, mereka mengerjakan pada siang hari, saat hari masih terang agar bisa mengerjakan dengan optimal. Sekarang anak-anak Dusun Kuang lebih nyaman belajar.
Nyaman dan murah
Selain lebih nyaman untuk segala keperluan, biaya yang ditanggung warga juga lebih ringan. Dengan listrik PLTMH, warga hanya perlu membayar iuran Rp 7.500 per bulan.
Warga kini juga bisa memiliki telepon seluler (ponsel) karena ada sumber energi untuk mengisi daya. Dengan memiliki ponsel, warga bisa mencari informasi harga komoditas lada di kota meski masih harus mencari sinyal di atas bukit. Setidaknya warga dapat informasi harga yang pasti.
”Kami juga bisa memiliki televisi dan bisa mengikuti perkembangan informasi di luar kampung. Meski orang pedalaman, kami tidak ketinggalan informasi tentang perkembangan di daerah lain,” kata Mas Dedi.
Pembangunan PLTMH dengan dana desa diperluas ke dusun lain di desa itu, yakni di Dusun Kuningan. Proses pembangunannya sudah mencapai 50 persen. Total biayanya Rp 347 juta. Bulan September tahun ini ditargetkan selesai.
Thimotius sedang berupaya agar PLTMH tidak hanya berfungsi sebatas untuk penerangan, tetapi juga bermanfaat untuk kegiatan usaha. Di desa itu terdapat potensi agrobisnis. Namun, masih memerlukan waktu untuk memanfaatkan energi itu menjadi usaha desa.
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Kalbar Alexander mengatakan, pihaknya terus mendorong desa berinovasi dengan dana desa untuk berbagai penggunaan, misalnya melalui pembentukan berbagai usaha yang dikelola BUMDes. Secara keseluruhan BUMDes yang terbentuk baru 10-15 persen dari 2.031 total desa di Kalbar.
Alexander menargetkan, tahun 2019, BUMDes yang terbentuk mencapai 60-70 persen dari 2.031 desa di Kalbar. Pada 2015, dana desa untuk Kalbar Rp 537,07 miliar, tahun 2016 Rp 1,24 triliun. Kemudian 2017 ada Rp 1,61 triliun dan tahun 2018 sebesar Rp 1,69 triliun.