MEDAN, KOMPAS - Kepolisian Daerah Sumatera Utara masih terus mendalami kasus tenggelamnya Kapal Motor Sinar Bangun di perairan Danau Toba. Mereka fokus menggali keterangan dari Kepala Dinas Perhubungan Samosir Nurdin Siahaan untuk melihat sejauh mana kelalaian aparatur pemerintah. Nurdin yang sudah ditetapkan menjadi tersangka diminta wajib lapor.
Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara Komisaris Besar Tatan Dirsan Atmaja di Medan, Rabu (25/7/2018), mengatakan, polisi sudah memeriksa Nurdin, tetapi belum ditahan karena dinilai masih kooperatif dalam pemeriksaan.
”Pemeriksaan Nurdin sangat penting karena empat di antara lima tersangka merupakan pegawai Dishub Samosir. Satu lainnya adalah nakhoda kapal,” kata Tatan.
Selain Nurdin, empat dari lima tersangka dalam kasus tenggelamnya KM Sinar Bangun adalah Kepala Bidang Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Dishub Samosir Renhard Sitanggang; Kepala Pos Pelabuhan Simanindo Golpa F Putra; pegawai honorer Dishub Samosir yang merupakan anggota pos Pelabuhan Simanindo Karnilan Sitanggang; dan nakhoda kapal Poltak Soritua Sagala.
Tiga tersangka dari pegawai Dishub dan nakhoda kapal telah ditahan di Polda Sumut. Berkas perkara diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Sumut, tetapi dikembalikan dan diminta dilengkapi.
KM Sinar Bangun tenggelam saat berlayar dari Pelabuhan Simanindo di Kabupaten Samosir menuju Pelabuhan Tigaras di Kabupaten Simalungun, Senin (18/6). Dalam tragedi itu, 164 penumpang hilang, 21 orang selamat, dan 3 orang tewas. Kapal diduga tenggelam antara lain karena kelebihan muatan dan cuaca buruk. ”Minimnya alat keselamatan membuat jumlah korban yang dapat diselamatkan sangat sedikit,” kata Tatan.
Tatan mengatakan, mereka terus mendalami sejauh mana empat pegawai Dishub Samosir harus bertanggung jawab pada kasus tenggelamnya kapal itu. Mereka memeriksa sejumlah regulasi pelayaran, seperti Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 58 Tahun 2007, Permenhub Nomor KM 25 Tahun 2015, dan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Empat pegawai Dishub Samosir, kata Tatan, dijerat dengan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman lima tahun penjara. Mereka disangka lalai menjalankan tugas hingga menyebabkan orang lain meninggal. Sementara, nakhoda kapal dijerat dengan Pasal 359 KUHP dan Pasal 303, Pasal 302, dan Pasal 323 Undang-Undang Pelayaran dengan ancaman hukuman paling lama 10 tahun penjara.
Pengacara nakhoda, Rion Arios, mengatakan, kelalaian pemerintah sebaiknya menjadi pertimbangan pemerintah dalam memeriksa kelalaian nakhoda kapal. Kliennya dijerat dengan UU Pelayaran karena berangkat tanpa surat izin berlayar, alat keselamatan tidak memadai, dan tidak mengindahkan peringatan cuaca buruk sebagaimana. ”Padahal, di semua pelabuhan di Danau Toba Dishub Samosir memang tidak pernah memberikan surat izin berlayar kepada kapal kayu,” katanya.
Rion mengatakan, mereka juga berharap penyidik mempertimbangkan hal-hal baru yang selama ini belum diungkapkan. Menurut dia, nakhoda kapal juga tidak menerima pemberitahuan cuaca buruk dari pemerintah. ”Padahal, Dishub Samosir telah menerima pemberitahuan cuaca buruk dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebanyak dua kali. Tetapi laporan itu tidak diteruskan kepada nakhoda kapal,” katanya.
Rion menyatakan, pihaknya tidak menampik ada unsur kelalaian dari nakhoda kapal, khususnya soal kelebihan beban. Sesuai dengan surat izin kapal, kapasitas kapal sebenarnya hanya 45 orang, tetapi kapal diisi dengan 188 orang dan 70 sepeda motor. ”Masalah kelebihan kapasitas ini merupakan masalah yang telah dibiarkan terjadi berlarut-larut,” katanya.(NSA)