INDRAMAYU, KOMPAS — Sedikitnya 2.000 hektar sawah di Kecamatan Kandanghaur dan Kencamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mengalami puso akibat kekeringan. Selain merugikan petani, kekeringan itu juga mengancam produksi padi di sentra beras nasional itu.
Padi yang gagal panen akibat kekeringan terpantau antara lain di Desa Karangmulya dan Desa Warikanan, Kandanghaur, serta Desa Losarang, Ranjeng, dan Muntur, Losarang, Jumat (27/7/2018). Tanaman padi usia 60 hari sampai 75 hari tampak kering kecoklatan.
Bulir padi tampak kehitaman, bahkan putih dan hampa. Tanahnya retak, bahkan terbelah. Padi itu mati karena tidak mendapatkan pasokan air. Jaringan irigasi dangkal, bahkan mengering, menyisakan sampah plastik di dasarnya. Mesin pompa milik petani berlomba menyedot air yang tak seberapa itu.
Wakil Ketua Bidang Pengadaan Sarana dan Prasarana Kontak Tani Nelayan Andalan Indramayu Waryono mengatakan, 1.000 hektar sawah di Kandanghaur dan 1.000 hektar di Losarang dipastikan puso. ”Jumlah ini masih bisa bertambah. Di Kandanghaur, ada 1.000 hektar yang terancam gagal panen jika tidak mendapatkan air seminggu lagi,” ujar Waryono.
Daerah itu merupakan lokasi terakhir yang mendapatkan air dari Saluran Induk (SI) Cipelang. Sebelum sampai ke daerah itu, air terlebih dahulu digunakan petani di Tukdana, Cikedung, dan Terisi. Adapun sumber airnya berasal dari Bendung Rentang, Kabupaten Majalengka, Jabar. ”Di sini air digilir setiap 12 jam untuk satu desa. Ini tidak cukup,” ujarnya.
Dengan jumlah padi gagal panen yang mencapai 2.000 hektar, Indramayu kehilangan 12.000 ton gabah kering giling (GKG) jika produksi rata-rata 6 ton GKG per hektar. Padahal, dengan lahan 116.000 hektar, Indramayu mampu menghasilkan hingga 1,7 juta ton GKG per tahun. Bahkan, Jabar menjadi penyumbang 17 persen kebutuhan beras nasional.
Taska (60), petani Desa Karangmulya, mengatakan, dari satu bahu (7.000 meter persegi) lahannya, yang bisa terselamatkan hanyalah 1.400 meter persegi. ”Selebihnya puso. Itu pun kalau mau selamat harus ada air,” ujarnya.
Untuk mendapatkan air, Taska harus menggunakan mesin pompa. ”Kemarin, untuk menyedot air selama satu minggu, saya habiskan uang Rp 650.000. Ini belum termasuk biaya tanam dan pengolahan lahan sekitar Rp 5 juta,” ujarnya.
Saat dikonfirmasi terkait dengan keterlambatan antisipasi kekeringan, Sekretaris Dinas Pertanian Indramayu Takmid menampik hal tersebut. ”Kami melakukan langkah antisipasi di lapangan. Memang ada (yang puso), tetapi tidak mencapai ribuan,” ujarnya saat dihubungi di Bogor, Jabar.