BANDA ACEH, KOMPAS - Tiga tersangka korupsi pengadaan sapi pada Dinas Kelautan, Perikanan, dan Peternakan Lhokseumawe, Aceh ditahan setelah berkas perkara dilimpahkan oleh Polisi Resor Lhokseumawe kepada Kejaksaan Tinggi Aceh, Kamis (26/7/2018). Kerugian negara akibat perbuatan tersangka mencapai Rp 8,1 miliar.
Tersangka yang ditahan adalah mantan Kepala Dinas Kelautan, Perikanan, dan Peternakan (DKPP) Lhokseumawe Rizal, mantan Kepala Bidang Peternakan DKPP Lhokseumawe Dahlia, dan Pejabat Pembuat Komitmen DKPP Lhokseumawe Ismunazar.
Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas (Kasipenkum) Kejati Aceh Munawal mengatakan, Rizal dan Ismunazar ditahan di Rumah Tahanan Kajhu Aceh Besar dan Dahlia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Lhoknga.
”Kita akan segera menyiapkan pelimpahan ke Pengadilan Tipikor Banda Aceh untuk segera disidangkan,” kata Munawal.
Para tersangka didakwa melanggar Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 mengatur ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Sementara Pasal 3 memberi ancaman penjara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun.
Munawal mengatakan, penyidikan tidak berhenti pada tiga tersangka. Aliran dana hasil korupsi itu akan diselidiki. Saat ini pihak rekanan pemenang tender juga sedang diperiksa oleh penyidik. Program pengadaan dan penggemukan sapi yang dibiayai oleh APBD Lhokseumawe bersumber pada dana otonomi khusus tahun 2014. Pagunya mencapai Rp 14,5 miliar. Namun, dalam pelaksanaan, diduga pengadaan tidak sesuai perencanaan. Jumlah sapi dan kelompok penerima dipalsukan.
”Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh menunjukkan, kerugian negara mencapai Rp 8,1 miliar,” ujar Munawal.
Koordinator Masyarakat Transparansi Anggaran Aceh Alfian mengatakan, penyidik harusnya menelusuri aliran dana yang dikorupsi. Alfian menduga, dana tersebut tidak hanya dinikmati oleh tiga tersangka. Apalagi kasus ini terjadi menjelang pemilihan wali kota dan pemilihan calon legislatif. Dana otonomi khusus ini rawan dikorupsi karena perencanaan dan pengawasan yang buruk. Sejauh ini, Aceh belum memiliki rencana induk penggunaan dana otonomi khusus. ”Kami banyak menemukan indikasi korupsi dalam program yang didanai otsus,” ujar Alfian.
Kasus terbaru korupsi dana otonomi khusus Aceh ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni dugaan suap yang melibatkan Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh (nonaktif); Ahmadi Bupati Bener Meriah(nonaktif); pengusaha Teuku Syaiful Bahri, dan ajudan Gubernur Hendri Yuzal.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Muharuddin mengatakan, dana otonomi khusus memang kerap bermasalah pada pelaksanaan. Padahal, pada saat perencanaan sudah dikaji dengan teliti. Pada saat pembahasan presentasi dari eksekutif sangat bagus, sasaran capaian sangat logis, tetapi banyak bermasalah pada saat pelaksanaan.
Sebelum tahun 2016, kata Muharuddin, pengelolaan dana otonomi khusus 40 persen langsung ditransfer ke kas kabupaten/kota. Namun, pada 2016, qanun/perda pengelolaan dana otonomi khusus direvisi, pengelolaan sepenuhnya berada di bawah pemerintah provinsi. Perubahan itu dilakukan salah satunya untuk memudahkan pengawasan dan menghindari penyalahgunaan di tingkat kabupaten/kota. (ain)