Perlu Aturan Hukum untuk Cegah Joki
Kendati praktik perjokian terjadi setiap tahun, belum ada aturan hukum untuk mencegahnya. Itu sebabnya, aktivitas ini terus berkembang.
YOGYAKARTA, KOMPAS -Hingga kini belum ada peraturan khusus yang bisa mencegah terjadinya praktik joki dalam seleksi masuk perguruan tinggi. Namun, ada celah hukum yang membuat pelaku perjokian bisa dipidana.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto mengungkapkan, undang-undang atau peraturan yang secara khusus mengatur praktik joki memang belum ada. Namun, bukan berarti tak ada celah untuk menjerat para pelaku.
”Dari sisi hukum, ada hukum pidana. Hal itu memungkinkan karena yang dilakukan oleh seorang joki adalah memalsukan identitas. Bisa juga dihukum secara administrasi untuk pelaku joki yang, misalnya, masih berstatus sebagai mahasiswa. Statusnya bisa dicabut sesuai standar perilaku penegakan etika di universitas yang bersangkutan,” kata Sigit di Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Selasa (31/7/2018).
Hal tersebut sempat terjadi dalam ujian masuk yang digelar oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Kepala Biro Admisi UMY Siti Dyah Handayani menyatakan, seorang joki tertangkap dan ditahan selama 6 bulan pada Juni 2017. Pelaku ditahan atas perkara pemalsuan identitas. Adapun jumlah joki yang ditangkap sekitar 20 orang.
”Setelah tertangkap, kami proses ke kepolisian lalu dijadikan tersangka. Dia kena hukuman 6 bulan. Itu terjadi saat seleksi gelombang ketiga untuk fakultas kedokteran,” kata Dyah.
Pada 2018, UMY kembali menemukan praktik joki dalam ujian masuk gelombang keempat. Lagi-lagi fakultas kedokteran menjadi tempat dilancarkannya praktik itu. Joki sudah mulai menyamar sejak pendaftaran. Ia mendaftar dengan identitas calon mahasiswa yang menggunakan jasanya.
”Namun, itu langsung ketahuan. Jadi calon mahasiswa yang pakai jasa joki itu sudah ikut tes, tetapi gagal pada gelombang pertama. Datanya masih kami simpan. Pada gelombang keempat, identitas yang sama didaftarkan kembali, tetapi si pendaftar kali ini merupakan orang yang berbeda,” kata Dyah.
Senin (30/7), Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta memergoki sembilan peserta ujian masuk fakultas kedokteran menggunakan joki berteknologi tinggi. Terdapat pihak yang mengerjakan soal mereka dari jarak jauh.
Para peserta itu tinggal menerima jawaban dari alat bantu pendengaran yang telah dipasang ke telinga masing-masing. Sementara itu, soal dipindai dengan kamera telepon seluler yang dipasang tersembunyi di jaket peserta dan dikendalikan pula dari jarak jauh.
Dyah mengungkapkan, untuk mencegah terjadinya perjokian, pihak universitas berencana menggunakan sistem pemindaian sidik jari untuk peserta tes. Selain itu, juga dilakukan penggeledahan barang bawaan peserta. Hal itu untuk mencegah terjadinya kecurangan dalam ujian masuk.
Di kampus lain, Kepala Humas dan Protokol Universitas Gadjah Mada (UGM) Iva Ariani mengungkapkan, UGM telah meminimalkan praktik joki dengan skema tes seleksi yang dilakukan secara daring dalam ujian tulis UGM. Ujian itu adalah seleksi masuk UGM dengan jalur mandiri.
”Itu dengan pendaftaran online yang dilakukan dengan pengunggahan identitas dan password yang hanya diketahui oleh peserta. Pengawas masih memverifikasi lagi saat berlangsungnya ujian,” kata Iva.
Saat ujian dilaksanakan, satu pengawas itu memperhatikan 10 anak. Mereka mencocokkan dengan memanggil nama satu per satu anak dengan identitas foto yang dibawa oleh pengawas. Bahkan, pengawas akan mengikuti peserta yang izin untuk meninggalkan kelas dengan alasan hendak ke toilet.
Sigit menyatakan, praktik joki merusak sistem perguruan tinggi dan merusak kualitas pendidikan. Jika proses masuk kuliah diawali dengan curang seperti itu, dikhawatirkan selama proses perkuliahan yang praktik serupa akan diulangi kembali. ”Kalau memang itu dipandang secara nasional sebagai suatu persoalan yang mengganggu dan merusak sistem pendidikan tinggi kita, perlu dikeluarkan aturan yang lebih terperinci lagi,” ujar Sigit. (NCA)