Solidaritas dan semangat gotong royong terus membara di hati warga korban gempa di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Di tengah keterbatasan bantuan, mereka bahu-membahu menyumbang bahan makanan untuk makan bersama.
Gempa bumi meluluhlantakkan ribuan rumah di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Warga yang kehilangan tempat tinggal kemudian bergotong royong mendirikan posko pengungsian di tempat yang aman. Asalkan ada tempat berteduh sementara, bersebelahan dengan kandang sapi pun bukan soal. Berbagi hasil ladang untuk disantap bersama di bawah tenda pengungsian adalah solidaritas yang mereka bina di tengah kesusahan.
Suasana guyub dan rasa senasib sepenanggungan ditunjukkan warga korban gempa di lokasi pengungsian umumnya. Misalnya, Sri Macik (46), warga Dusun Loken, Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, setelah gempa berkekuatan 6,4 SR, Minggu (29/7/2018) pagi, mondok bersama 50 warga di bawah tenda yang dibangun atas inisiatif warga.
Sri Macik memiliki 3 hektar lahan yang ditanami padi, buncis, dan tomat. ”Ada lagi warga menyumbang beras. Jika butuh tomat untuk bikin sambal, saya tinggal petik (tomat) di ladang,” ujarnya.
Di tenda pengungsian mereka berbagi tugas, seperti Halimatus Saidah (45), menjadi juru masak. Setiap hari, Halimatus memasak tiga kali untuk 50 pengungsi dan menghabiskan 10 kilogram beras sekali masak. ”Kadang masak sayur nangka, sayur wortel, dan sayur kentang yang kami ambil (petik) dari ladang tetangga yang ikhlas berbagi,” tuturnya.
”Kami hanya mendapat bantuan beras dan mi instan. Jika makan itu-itu saja tiap hari, bikin bosan, kan. Jadi perlu variasi makanan dan sayuran dari hasil bumi kami di Sembalun,” kata Halimatus Saidah. Tempat memasak makanan itu hanya berjarak 1 meter dari kandang sapi. Maka saat memasak dirinya sering kali menutup hidung guna menahan bau tak sedap dari kotoran sapi.
Keikhlasan berbagi itu, kata Sri Macik, merupakan inisiatif warga. Apalagi bantuan dari pemerintah, lembaga kemanusiaan, dan warga yang peduli relatif terbatas dibandingkan kebutuhan. Bantuan itu berupa beras dan mi instan dari sejumlah warga yang melintas di pengungsian di pinggir Jalan Raya Sembalun Lawang. Keterbatasan bantuan itu pula yang mendorong warga bergotong royong mengumpulkan bahan makanan dan mendirikan tempat pengungsian. Para pengungsi yang memiliki sisa harta lalu bergotong royong mencukupi kebutuhan selama di pengungsian.
Warga yang mengungsi ini kebanyakan petani yang bercocok tanam bawang putih, bawang merah, kentang, wortel, buncis, dan tomat. Ada pula peternak yang memelihara sapi dan kambing. Sumiati (51), misalnya, adalah pengadas, yaitu pemelihara sapi atau ternak milik orang lain. Karena tanggung jawabnya, ia memilih mengungsi dekat rumahnya yang roboh akibat gempa. Itu dilakukan agar tidak jauh dari hewan piaraan dan setiap saat bisa memberi pakan empat sapi itu.
”Saya tidak bisa mengungsi di lapangan atau kantor desa karena ingin mengawasi sekaligus memberi makan ternak,” kata Sumati yang juga warga Dusun Loken, Desa Sajang.
Saking dekatnya dengan kandang hewan, Selasa (21/7) pukul 11.30, ketika Sumiati menikmati santap siang di lokasi pengungsiannya, dia terpaksa menutup hidung, menahan bau kotoran sapi. ”Sudah tiga hari kami seperti ini: makan dan tidur bertetangga dengan sapi,” ucapnya sembari terkekeh.
Cuaca dingin
Ada empat tenda pengungsian yang didirikan di Desa Sajang, beratap terpal masing-masing berukuran 4 meter x 6 meter. Jika siang hari, suasana dalam tenda terasa panas oleh terik matahari, sedangkan pada malam hari kedinginan karena seperti desa-desa di kaki Gunung Rinjani, suhu udara mencapai 15 derajat celsius. Bantuan selimut baru diperoleh sebagian kecil pengungsi.
Melihat kondisi warga di pengungsian itu, Nuraini (60), warga Dusun Longken, pun berkelakar, keadaan dirinya tidak lebih baik daripada sapi peliharaannya. ”Kandang sapi punya atap dan dinding kayu sehingga hewan itu tidak kedinginan di malam hari. Sapi punya kulit yang tebal untuk menahan dingin, sedangkan kami harus menggunakan selimut untuk menahan dingin,” katanya.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi NTB Muhammad Rum mengakui, distribusi bantuan belum merata. Tidak sedikit warga yang mendirikan posko pengungsian mandiri, yang beberapa di antaranya berlokasi tersembunyi di ladang dan puncak bukit.
”Warga yang ingin memberikan bantuan sebenarnya banyak dan jumlahnya mencukupi, tetapi saya berharap semua disalurkan melalui satu pintu di kantor kecamatan. Tujuannya agar bantuan bisa didata dan didistribusikan sesuai kebutuhan,” ucap Rum.
Solidaritas dan semangat gotong royong warga tetap melekat. Di tengah trauma akibat bencana, walau bertetangga dengan kandang sapi pun, solidaritas sosial tersebut senantiasa terjaga.