MEDAN, KOMPAS - Warga Desa Aek Batang Paya, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, meminta harga ganti rugi yang layak atas lahan mereka yang digunakan PLTA Sipirok Marancar Batang Toru. Selama ini, sebagian warga menerima Rp 8.000 per meter persegi. Harga itu tidak cukup untuk membeli lahan pertanian baru di tempat lain.
”Saya belum menerima uang ganti rugi, tetapi tanaman di ladang saya sudah ditebang. Kami hanya ingin harga yang layak agar kami bisa membeli ladang di tempat lain,” kata Elisor Harahap (50), warga Desa Aek Batang Paya, saat rapat dengar pendapat di Gedung DPRD Sumatera Utara, Medan, Selasa (31/7/2018).
Menurut Elisor, pembangunan PLTA Sipirok Marancar Batang Toru (Simarboru) di desanya dalam tahap pembebasan lahan, pembersihan lahan, dan pembangunan akses jalan. Namun, 54 keluarga belum menyepakati harga yang diberikan pengembang PLTA Simarboru, yakni PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE). Beberapa persil lahan di desa itu masih negosiasi harga, termasuk lahan miliknya. Ia punya lahan 1,5 hektar yang ditanami karet, durian, dan aren. Lahan itu sudah turun-temurun menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. ”Saya belum sepakat dengan harga itu. Namun, beberapa bulan lalu, PT NSHE menebang tanaman di ladang kami meskipun belum ada ganti rugi,” katanya.
Warga lainnya, Mangandar Harahap (60), juga mengaku tanaman di ladangnya sudah ditebang, tetapi biaya ganti rugi untuk ladangnya belum dibayar. Mangandar mengaku warga menyetujui pembangunan PLTA Simarboru, hanya harga ganti rugi diminta diberikan secara layak agar mereka bisa membeli lahan pertanian yang baru di tempat lain. Hampir seluruh warga desa itu menggantungkan hidup pada pertanian.
Harga ladang pertanian saat ini berkisar Rp 250 juta hingga Rp 500 juta per hektar atau Rp 25.000 hingga Rp 50.000 per meter persegi. Mereka pun meminta NSHE membayar ganti rugi dengan harga seperti itu. Warga juga meminta PT NSHE membayar ganti rugi tanaman di lahan.
”Ada tanaman produktif yang sudah menghasilkan di lahan mereka, tetapi tidak dihitung dalam proses negosiasi. Ini yang sangat kami sesalkan,” ujarnya. Menurut dia, PT NSHE tidak punya kantor perwakilan di sekitar Tapanuli Selatan. Hal ini menyulitkan mereka berkomunikasi dan negosiasi harga.
Selain warga, rapat yang dipimpin oleh anggota Komisi D DPRD Sumut, Sutrisno Pangaribuan, itu juga dihadiri perwakilan Dinas Kehutanan Sumut, Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut, Kepolisian Resor Tapanuli Selatan, serta PT NSHE.
Senior Advisor PT NSHE Agus Djoko Ismanto mengatakan, biaya ganti rugi yang dibayar sudah lebih tinggi dari nilai jual objek pajak (NJOP) pada 2015, yakni sekitar Rp 2.000 per meter persegi. Namun, belakangan harga lahan di sekitar desa itu memang naik karena PT NSHE sudah membuka jalan.
Agus berjanji akan menjalin komunikasi lagi dengan 54 keluarga yang merasa dirugikan dengan harga itu. Mereka juga akan membangun kantor perwakilan dalam satu bulan ke depan.
PLTA Simarboru merupakan proyek strategis nasional menggunakan areal milik warga dengan luas 617 hektar. Proyek berada di Kecamatan Sipirok, Marancar, dan Batang Toru. PLTA yang membendung Sungai Batang Toru ini akan menghasilkan daya listrik 510 megawatt.
Saat ini, pengerjaan proyek senilai 1,6 miliar dollar AS itu masuk tahap pembebasan lahan dan pembangunan jalan. Kini disiapkan desain bendungan dengan genangan air 90 hektar, terowongan air sepanjang 13,5 kilometer, dan gedung pembangkit listrik 510 megawatt. (NSA)