Karet Terkena Jamur, Petani Kian Terpuruk
Tanaman karet yang menjadi andalan sebagian besar petani di Sumatera dalam bahaya. Produktivitas merosot dan harga pun semakin rendah.
PANGKALAN BALAI, KOMPAS Petani karet di Pulau Sumatera terus didera kerugian akibat produksi getah yang turun menyusul adanya gugur daun dan penyakit fusicoccum. Harga karet yang hanya Rp 5.500-Rp 6.000 per kilogram makin membuat petani terpuruk. Petani membiarkan tanaman telantar atau mengganti dengan tanaman lain.
Eddy (40), petani karet di Desa Pulau Harapan, Kecamatan Sembawa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Rabu (1/8/2018), mengatakan, sejak empat bulan lalu, pohon karetnya menurun tajam. Dalam kondisi normal tiap hektar bisa produksi 120 kg, kini hanya 60 kg per hektar.
Penurunan terparah terjadi sejak musim gugur daun Mei lalu. Sejak itu produksi melambat. Gugur daun terjadi terutama menjelang musim kemarau, tetapi terasa semakin berat karena harga karet tidak kunjung naik. Saat ini harga karet berkisar Rp 5.500-Rp 6.000 per kg, jauh dibanding tahun 2011, yakni Rp 16.000-Rp 18.000 per kg.
Apri, petani lainnya, menyebutkan, sejak harga karet anjlok, petani tak lagi memupuk tanaman karet. Sebab, untuk 1 hektar lahan karet, biaya pupuk yang dibutuhkan sekitar Rp 2 juta per tahun. Biaya tersebut sangat berat mengingat penghasilan yang diterima tidak sebanding dengan biaya produksi.
Di Desa Pulau Harapan banyak pohon karet yang belum ditumbuhi daun. Bahkan, getah karet pun tak mengalir sama sekali.
Sementara Desa Rumah Sumbul, Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hulu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, petani bahkan membiarkan tanaman tidak disadap. Parman Tarigan (60) mengaku hanya menyadap 1 hektar dari 3 hektar tanaman karetnya. Sebagian bahkan sudah ditebang.
Parman hanya mendapat hasil sekitar 60 kg getah karet atau Rp 360.000 per minggu. Padahal, saat harga bagus tahun 2011, ia bisa mendapat getah karet 180 kg per minggu atau Rp 3,2 juta karena harga saat itu Rp 18.000 per kilogram. Dirinya bisa membangun rumah dari hasil karet.
Di daerah ini, musim gugur daun sudah berakhir Mei lalu. Daun-daun muda berwarna hijau muda mulai tumbuh memenuhi tiap ranting tanaman. Getah karet mulai menetes terus-menerus dari tanaman yang disadap.
Martiani Sebayang (26), petani di Desa Rumah Sumbul, mengatakan, petani awalnya bertahan karena mengira penurunan harga hanya sesaat. Namun, setelah tujuh tahun harga karet tak membaik, para petani akhirnya menyerah dan menebang tanaman karetnya.
Produksi merosot
Direktur Pusat Penelitian Karet Gede Wibawa di Palembang mengatakan, produksi karet terus menurun karena gugur daun akibat penyakit fusicoccum yang diduga mulai muncul karena perubahan iklim dan cuaca. Penyakit ini menyebar dengan spora dan kemunculannya sudah mulai terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.
Berdasarkan survei secara daring yang dilakukan Balai Penelitian Sembawa, Palembang, penyakit fusicoccum telah menyerang perkebunan karet di sejumlah provinsi di Indonesia, di antaranya Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Selatan. Di Sumatera Selatan, penyakit fusicoccum menghilangkan produksi tanaman karet sebesar 45 persen pada Juni. Sementara pada semester I tahun 2018 penurunan mencapai 13-15 persen.
Peneliti dari Balai Penelitian Sembawa, Tri Rapani Febbiyanti, menjelaskan, fusiccocum menjadi penting untuk diantisipasi karena dapat menggugurkan daun dan menjadikan kerapatan tajuk berkurang hingga lebih dari 50 persen. ”Serangan itu membuat tanaman karet di Sumatera Selatan gugur hingga dua sampai tiga kali dalam setahun. Padahal, pada umumnya tanaman karet hanya gugur sekali dalam setahun,” katanya.
Gede menyatakan, upaya antisipasi penyebaran penyakit terkendala tingginya biaya perawatan dan pemeliharaan. ”Kondisi harga karet yang rendah sekarang mengakibatkan petani tidak melakukan pemupukan atau mengurangi dosis pupuknya. Tanaman karet pun menjadi lemah dan rentan terhadap penyakit ini,” ucapnya.
Deputi Koordinasi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian Musdalifah Machmud menyatakan, pemerintah telah bekerja sama dengan sejumlah lembaga riset, termasuk dari negara lain, untuk mengidentifikasi penyakit yang menyerang tanaman karet. (MTK/RAM/NSA)