MANADO, KOMPAS - Setiap tahun ratusan ton daging satwa dilindungi diperkirakan diperdagangkan di sejumlah pasar tradisional di Sulawesi Utara, seperti di Minahasa, Tomohon, Bitung, dan Manado. Aktivitas perdagangan tersebut sangat leluasa dilakukan karena longgarnya pengawasan.
John Tasirin, Direktur Biodiversity Conservation Programs (Biocop) Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi di Manado, Kamis (2/8/2018), mengatakan, perdagangan satwa dilindungi memasuki fase krusial yang harus mendapat perhatian pemerintah.
”Di pasar-pasar tradisional, daging satwa dilindungi dijual bebas tanpa pengawasan,” kata John.
Satwa dilindungi yang diperdagangkan secara bebas, antara lain, anoa, babi rusa, tarsius, monyet hitam sulawesi (Macaca nigra), dan paniki hitam sulawesi (Pteropus celebensis), jenis kalong yang kini populasinya menurun drastis.
John mengatakan, pihaknya telah beberapa kali melakukan pertemuan dengan pedagang satwa. Dalam pertemuan itu dijelaskan peraturan mengenai ancaman pidana terhadap pelaku perburuan, penjual, dan pedagang satwa dilindungi.
Sebagian besar pedagang mengaku tidak tahu soal ancaman dan sanksi hukum tersebut. ”Kami sekarang butuh aparat untuk mengawasi perdagangan satwa dilindungi,” kata John.
Beberapa waktu lalu, seorang dosen satu perguruan tinggi negeri di Manado dihukum penjara karena menembak mati seekor Macaca nigra di hutan Pulau Manado Tua.
John menyebut, penjualan satwa dilindungi terjadi di 10 pasar tradisional di Tomohon, Minahasa, Manado, dan Bitung. Sebagian besar perdagangan itu terjadi di Pasar Tomohon serta Pasar Kawangkoan dan Tompaso di Kabupaten Minahasa.
Volume perdagangan satwa dilindungi di sejumlah pasar tersebut mencapai 10-15 ton setiap bulan. Angka perdagangan meningkat drastis saat hari-hari tertentu. Di Pasar Tomohon dan Kawangkoan juga dapat dijumpai ular, biawak, dan tikus sawah.
Wali Kota Tomohon Jimmy Eman mengatakan, larangan terhadap penjualan satwa dilindungi di Pasar ”ekstrem” Tomohon sudah disampaikan. Akan tetapi, masih banyak pedagang yang menjual daging monyet hitam sulawesi dan babi rusa. ”Daging satwa itu diperoleh dari Gorontalo dan Sulawesi Tengah,” katanya.
Menurut Harry Hisler, Direktur Program Selamatkan Yaki (monyet hitam sulawesi), perburuan terhadap satwa dilindungi itu cukup masif di beberapa tempat di Bitung, Minahasa, dan Bolaang Mongondow. Akibat perburuan, populasi yaki menurun drastis dalam empat dekade sehingga tersisa sekitar 5.000 ekor saja. ”Mereka menangkap yaki untuk dikonsumsi,” kata Harry. Akan tetapi, angka perburuan yaki berkurang drastis setelah dilakukan sosialisasi di masyarakat. Sosialisasi dilakukan di sejumlah desa yang berdekatan dengan hutan lindung. (ZAL)