SURABAYA, KOMPAS — Lebih dari 50 orang yang mengatasnamakan warga Lidah Kulon, Surabaya, Jumat (3/8/2018), berunjuk rasa di kantor Kepolisian Daerah Jawa Timur. Mereka merasa terancam kriminalisasi terhadap empat orang yang sedang diperiksa oleh tim penyidik terkait gugatan warga terhadap kasus tukar guling Waduk Sepat di Lidah Kulon.
Warga merasa terancam oleh tindakan PT Ciputra Surya Tbk yang melaporkan empat orang, yakni Darno, Suherna, Rokim, dan Dian Purnomo, dengan tuduhan memasuki dan membuat kerusakan di wilayah perusahaan pengembang properti tersebut (Waduk Sepat).
”Bagi kami, pemeriksaan terhadap empat orang yang berstatus saksi itu merupakan ancaman dan kriminalisasi. Kami tetap menolak Waduk Sepat akan dijadikan perumahan,” ujar Mulyani, perwakilan warga.
Menurut Mulyani, warga terus berjuang agar Pemerintah Kota Surabaya membatalkan pelepasan Waduk Sepat kepada Ciputra Surya pada Desember 2008. Pelepasan aset melalui ruilslag atau tukar guling dengan tanah milik pengembang di Kecamatan Pakal.
Tukar guling itu terjadi saat kepemimpinan Wali Kota Bambang Dwi Hartono sebagai upaya pembangunan Surabaya Sport Centre (SSC) di Pakal. Dengan tukar guling, Waduk Pakal dinyatakan sebagai ”tanah pekarangan” berstatus hak guna bangunan yang dipegang oleh Ciputra Surya meski sampai kini berfungsi sebagai waduk.
”Aksi kami di Polda Jatim untuk meminta penghentian kasus terhadap warga oleh tim penyidik. Kami meyakini, penyelidikan terhadap warga merupakan bagian dari proses kriminalisasi dan ancaman,” kata Mulyani.
Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, Habibus Shalihin, mengatakan, warga melalui jalan terjal memperjuangkan penolakan pelepasan Waduk Sepat seluas 6,67 hektar kepada Ciputra Surya. Warga telah menempuh banyak jalur, tetapi kasus ini belum teratasi bahkan sampai kepemimpinan eksekutif dan legislatif di Surabaya berganti.
Menurut Habibus, pelaporan terhadap warga yang sedang memperjuangkan Waduk Sepat dalam konteks kelestarian lingkungan dan ruang hidup merupakan salah satu bentuk ancaman dan kriminalisasi. Padahal, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjamin setiap orang yang memperjuangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak bisa dituntut secara pidana dan atau perdata.
”Jika regulasi menjamin, mengapa kemudian warga diperiksa?” kata Habibus.
Sampai dengan Jumat malam, Kompas belum menerima pernyataan konfirmasi dari Ciputra Surya. Permohonan konfirmasi yang dikirim melalui pesan singkat kepada Ahmad Helmy, Coordinator of Event & Promotion Ciputra Surya, tidak mendapat balasan.