Pekebun Karet di Kalimantan Barat Dipermainkan Harga
Oleh
Emanuel Edi Saputra
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Harga karet di sejumlah daerah di Kalimantan Barat berfluktuasi pada kisaran Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram. Kondisi itu belum ideal bagi petani, apalagi harganya masih tergolong rendah karena masalah pada tata niaga dan di hulu yang belum terselesaikan.
Matius (35), petani karet di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Jumat (3/8/2018), mengatakan, harga karet di daerah itu masih pada kisaran Rp 5.000-Rp 6.000 per kg. ”Harga masih berfluktuasi dan cenderung rendah. Kondisi ini sudah terjadi beberapa tahun terakhir dialami petani,” ujarnya.
Petani sudah lama tidak menikmati harga yang baik karena tata niaganya masih belum dibenahi. Matius masih menjual karet kepada pedagang di desa-desa atau tengkulak. Tengkulak bebas menetapkan harga.
Namun, Matius tidak memiliki pilihan lain selain menjual kepada pedagang di desanya karena mudah dijangkau. Jika harus menjual ke pabrik, jaraknya jauh hingga ratusan kilometer, dan persyaratannya tidak mudah bagi petani jika ingin menjual ke pabrik. Belum lagi kendala sarana transportasi mengangkut karet dari desa menuju pabrik.
Selain itu, masalah di tingkat hulu juga masih membayangi petani. Kebun karet Matius umumnya sudah di atas 20 tahun sehingga produktivitasnya rendah, berkisar 700-800 kg per hektar per tahun. Hal itu merupakan kondisi umum yang dihadapi petani karet di Kalbar selama ini.
”Kami tidak bisa melakukan peremajaan karet karena keuangan kami tidak memadai. Untuk mencari uang memenuhi kebutuhan sehari-hari saja susah. Kalau karet ditebang, sumber penghasilan kami berkurang. Sementara anak-anak membutuhkan biaya sekolah,” tutur Matius.
Untuk menambah pendapatan, ia mencari pekerjaan tambahan dengan bekerja sebagai tukang bangunan. Hal itu bisa membiayai kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak-anaknya.
Masalah di hulu dan tata niaga itu masih merundung komoditas karet karena kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap komoditas karet.
Hal serupa dialami Efredi (54), petani karet di Kabupaten Sanggau. Harga karet di daerahnya juga berkisar Rp 5.000-Rp 6.000 per kg. Efredi juga kesulitan dengan harga karet yang masih rendah dan berfluktuasi. Apalagi, produktivitas kebun karetnya juga rendah.
”Idealnya, harga karet Rp 10.000 per kg. Dengan harga itu, petani lebih terbantu. Jika hanya Rp 5.000-Rp 6.000 per kg, sulit bagi kami. Untuk biaya anak sekolah tidak cukup. Akhirnya saya banyak pinjaman untuk menutup kekurangan penghasilan,” ujarnya.
Di Kalbar masih banyak orang yang menggantungkan hidup pada komoditas karet. Berdasarkan data Sensus Karet 2015-2017, setidaknya ada 264.328 keluarga petani karet di Kalbar yang bergantung pada komoditas karet.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak Eddy Suratman menilai, masalah di hulu dan tata niaga yang merupakan masalah klasik itu masih merundung komoditas karet karena kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap komoditas karet. Selain itu, belum ada upaya serius untuk menyelesaikan masalah yang ada. Padahal, masih banyak yang bergantung pada karet.
”Pejabat yang menangani komoditas ini juga banyak yang tidak kompeten di daerah. Akibatnya, program yang dijalankan tidak ada yang berjalan baik sehingga masalah pada komoditas karet terus berlarut sampai sekarang ini,” papar Eddy.
Sebagai contoh, aspek kelembagaan petani karet sebetulnya memegang peranan penting dalam program peremajaan. Masalah kelembagaan perlu menjadi perhatian. Apalagi, petani di pedalaman, khususnya di sentra karet, sebagian besar masih berusaha sendiri-sendiri tanpa kelompok. Namun, hal itu belum terlihat meskipun bagian yang penting.