BANYUWANGI, KOMPAS Untuk kali pertama, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menggelar Festival Angklung Paglak. Selain dapat menarik wisatawan, festival berbasis budaya ini juga diharapkan menjadi bagian dalam upaya memajukan daerah.
Angklung paglak merupakan produk budaya masyarakat agraris di Banyuwangi. Paglak adalah menara pondok bambu setinggi 6 meter hingga 7 meter dengan luas tak lebih dari 3 meter persegi. Di atas paglak, petani biasa memainkan alat musik angklung dengan cara dipukul dan berlangsung saat musim panen padi.
”Petani berada di atas paglak untuk mengamati sawah dan menghalau burung yang akan memakan padi. Sambil menjaga sawah, para petani mengisi waktu dengan bermain angklung,” ujar Surigo Bondan Soekarno (75), peserta Festival Angklung Paglak asal Desa Gladag, Kecamatan Rogojampi.
Surigo mengatakan, lagu-lagu yang dimainkan petani adalah lagu-lagu tradisional. Salah satu syair yang dinyanyikan berbunyi, ”Hok ya... Hok ya... Manuk-manuk ojo mrene (Hok ya... Hokya... Burung-burung jangan ke mari”.
Surigo menyambut baik gagasan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang menggelar Festival Angklung Paglak tersebut. Menurut dia, cara itu membuat tradisi angklung paglak yang selama ini hidup di kalangan petani bisa diterima masyarakat luas.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Yanuarto Bramuda menjelaskan, budaya merupakan unsur penting dalam pariwisata. Hampir 60 persen wisatawan berkunjung ke Indonesia karena tertarik dengan budayanya, sementara 35 persen karena alamnya dan 5 persen lagi pada wisata buatan manusia.
Hal itu yang mendorong Banyuwangi menggelar 77 festival dengan terbanyak berbasis budaya, di antaranya Barong Ider Bumi, Seblang, dan Putar Kayun. ”Merancang festival paling mudah jika berangkat dari budaya yang sudah tumbuh di masyarakat. Kami olah agar dapat menjadi atraksi wisata sehingga menarik wisatawan untuk datang berulang kali ke Banyuwangi,” katanya.
Yanuarto mengatakan, saat ini Kawah Ijen masih menjadi daya tarik wisata Banyuwangi. Sementara acara-acara budaya yang dirancang dalam bentuk festival merupakan sarana untuk mendongkrak lama menginap para wisatawan di Banyuwangi.
”Kalau wisatawan hanya ingin menikmati wisata alam, mungkin cukup 1 hari 1 malam. Dengan digelarnya festival berbasis budaya, lama menginap bertambah sampai tiga hari,” ujarnya.
Menurut Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, festival berbasis kebudayaan merupakan cara Pemkab Banyuwangi dalam memajukan daerahnya. Kemakmuran suatu daerah tidak hanya diukur dari tingkat ekonomi, tetapi juga budaya yang bisa hidup dan terus tumbuh di masyarakat.
Bagi Banyuwangi, kata Anas, tradisi dan kebudayaan bukanlah masa lalu, melainkan menjadi pedoman untuk menghadapi masa depan. Untuk itu, rangkaian Banyuwangi Festival diharapkan tetap memberi ruang bagi acara berbasis budaya.
Dalam Festival Angklung Paglak kemarin terdapat 38 kelompok peserta. Mereka diminta tampil secara bergantian untuk kemudian dinilai dan merebutkan juara. Anggota Dewan Juri Festival Angklung Paglak Setiawan Subekti mengatakan, juri akan menilai fisik bangunan paglak, penyajian, dan teknik bermusik. (GER)