Kegagalan dalam pengelolaan dana otonomi khusus harus segera dibenahi. Dengan demikian, dana yang besar itu sungguh-sungguh bermanfaat bagi warga setempat.
JAKARTA, KOMPAS - Skema regulasi dana otonomi khusus perlu segera diperbaiki. Langkah ini dibutuhkan agar pengucuran dana tepat sasaran dan bermanfaat nyata bagi masyarakat. Selain itu, penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, harus lebih aktif mengawasi penggunaan dana otonomi khusus.
”Daerah harus diberi acuan penggunaan dana otonomi khusus (otsus). Misalnya, 30 persen untuk pendidikan dan 15 persen kesehatan. Petunjuk teknis dan pelaksanaan harus disusun secara rinci agar transparansi pengelolaan dana terjaga. Selain itu, perlu ada penguatan kapasitas pemda. Mereka diawasi agar tak mengelola dana di luar kas daerah,” kata Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas di Jakarta, Selasa (7/8/2018).
Implementasi penggunaan dana otsus juga hanya sesuai kesepakatan antara pemerintah pusat dan daerah. Skema regulasi tata kelola tidak jelas sehingga alokasi dana otsus pun sia-sia. ”Bahkan, terkesan dana otsus sebagai politik buang badan pemerintah pusat karena tidak ada manfaatnya. Jika modusnya seperti itu, sangat memprihatinkan,” ujar Firdaus.
Hingga 2018 telah digelontorkan dana otsus dan keistimewaan kepada empat provinsi, yakni Papua, Aceh, Papua Barat, dan Yogyakarta, sekitar Rp 144,570 triliun. Uang yang dihabiskan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh warga (Kompas, 6/8).
Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Yusharto Huntoyungo mengatakan, perencanaan dan penyusunan program pembangunan di daerah melalui musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) daerah. Itulah yang menjadi pijakan dalam pemberian dana otsus. Begitu juga dalam pengawasan. Namun, pengawasan tidak mungkin hanya dilakukan pemerintah pusat. ”Jadi, prinsipnya memang pengawasan itu secara berjenjang. Sepertinya fungsi pengawasan itu tidak bisa berjalan maksimal. Jika ada pelanggaran penggunaan, kalau itu bisa dibuktikan, itu tugas KPK,” ucapnya.
Kepala Bappeda Papua M Musaad mengatakan, sejak 2016, KPK telah memberikan pendampingan dalam penyusunan, perencanaan, dan penganggaran keuangan daerah. Hasilnya lahir sistem e-government, yakni aplikasi e-planning dan e-musrenbang untuk perencanaan, e-budgeting untuk penganggaran, e-pengadaan barang dan jasa, e-perizinan, dan e-samsat.
Dengan aplikasi e-planning, e-musrenbang, dan e-budgeting, pemda diwajibkan mengisi rencana dan penganggaran dana otsus sesuai Perdasus yang ditetapkan Pemprov Papua. ”Apabila pemda tak mengisi aplikasi dengan benar, dana otsus untuk mereka belum dapat dicairkan. Memang ini regulasi yang sangat ketat, tetapi kami harus mengikutinya sesuai pembinaan dari KPK,” kata Musaad.
Pengajar Ilmu Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Rustam Effendi, menilai, pengelolaan dana otsus harus dibarengi komitmen yang kuat pejabat daerah, mulai dari gubernur, legislatif, bupati/wali kota, hingga aparatur di bawahnya. Tanpa itu, dana otsus justru jadi ladang korupsi. ”Rencana induk memang penting, tetapi tanpa ada komitmen dan niat tulus dari pemegang mandat politik, yaitu kepala daerah dan DPRD, aturan main tetap akan dilanggar,” kata Rustam. (KRN/FLO/BOW/FRN/AIN)