Kuliah Tamu Ignasius Jonan Dipenuhi Pertanyaan tentang Freeport
Oleh
DODY WISNU PRIBADI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan tidak keberatan seluruh waktu bertanya selama dirinya mengajar sekitar 1,5 jam di depan mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, Rabu (8/8/2018), diisi tanya jawab tentang proses divestasi saham PT Freeport oleh Pemerintah RI. Jonan menjawab dengan kekhasannya, yakni balik bertanya kepada mahasiswa jika pertanyaan mahasiswa kurang berlandaskan teori atau pemahaman yang kurang memadai.
”Anda harus balik ke Sumbawa dan buka toko atau mungkin klinik di sana. Loh, ini serius,” katanya kepada mahasiswa pascasarjana berlatar belakang ilmu keperawatan yang bertanya juga tentang Freeport. Alasan ke Sumbawa bisa jadi karena menurut rencana Freeport akan diminta membuka lokasi pemrosesan mineral bahan baku (smelter) hasil produksi Freeport di Sumbawa karena alasan kemudahan logistik.
Jonan berada di depan mahasiswa pascasarjana Unair berbagai bidang studi sebagai pengajar kuliah tamu. Ini kebiasaan yang lazim pada kegiatan awal perkuliahan mahasiswa di Unair seperti saat ini. Jonan mengajar dengan bahasa campuran, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dialek Surabaya. Ia mengawali kuliah dengan memutarkan video tentang wawancara dirinya dengan wartawan Detik.com dalam segmen acara video Blak-blakan. Video ini dijadikan materi kuliahnya.
Jonan mengatakan, dirinya terganggu dengan aneka kritik yang dialamatkan pada kinerjanya memperoleh janji divestasi saham Freeport yang dibeli oleh PT Inalum sebesar 51 persen. Ini karena banyak kritik tak disertai pemahaman yang memadai tentang teknis usaha pertambangan, apalagi usaha pertambangan sebesar Freeport.
”Mempelajari divestasi saham Freeport yang dasarnya menggunakan bidang studi merger dan akuisisi hendaknya didasarkan pada pemahaman tentang filsafat ilmu yang memadai,” kata Cuk Sukiadi, guru besar dan pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair serta mantan komisaris PT Semen Gresik, yang juga hadir.
”Saya bersedia berdebat tentang Freeport, tetapi dengan syarat partner debatnya adalah orang yang paham tentang bisnis pertambangan, misal guru besar fakultas pertambangan yang diyakini kapasitas sains pertambangannya bagus. Atau setidaknya mantan menteri pertambangan,” ujarnya.
Head of agreement PT Freeport dikatakan bisa dianalogikan dengan pertunangan. ”Pertunangan ini belum mengikat, yang artinya pemerintah saat ini belum benar-benar memiliki saham 51 persen itu. Namun, semua pertunangan didasarkan pada niat kedua belah pihak untuk melanjutkannya dengan pernikahan. Jika tidak niat menikah, untuk apa dilakukan pertunangan,” katanya.
Ia meyakinkan, waktu antara September dan Oktober 2018 adalah saat-saat persiapan realisasi divestasi. Sebab, hal-hak teknis sebagaimana analogi pertunangan, semacam siapa menjadi penerima tamu atau menjadi juru masak di dapur, sedang disiapkan. Namun, jelas laba yang didapat negara terhadap divestasi ini akan sangat menguntungkan bagi negara, bangsa, dan rakyat Indonesia. ”Tabel untung rugi antar-opsi bagi negara sudah dibuat dan bisa dipelajari,” kata Jonan.
Angka 51 persen diakuinya disindir di lingkungan media sosial dengan kalimat ”kenapa tidak sekalian 100 persen”. Menurut dia, lompatan sebesar 51 persen ini merupakan terobosan berharga setelah 50 tahun operasi Freeport. Bandingkan jika tidak ada sama sekali divestasi. ”Namun, jika saya ditanya kenapa dulu tidak ada negosiasi divestasi dan baru sekarang terjadi, saya tidak tahu siapa di pemerintahan terdahulu yang membuat aturannya sehingga kemitraan Freeport ini tidak menguntungkan bangsa Indonesia,” katanya.