Tak satu pun yang tahu perihal AR Wallace pernah tinggal di desa tersebut. Kunjungan ”Kompas” pada akhir Maret lalu tak membuahkan informasi relevan dari penduduk setempat. Dodinga, desa terpencil di Halmahera Barat, Maluku Utara, tempat bersejarah atas lahirnya sebuah teori penting di abad ke-19. Teori tentang evolusi: hanya individu kuat yang mampu bertahan.
Petunjuk bahwa Dodinga menjadi tempat saat Wallace terserang demam dan memunculkan inspirasi tentang seleksi alam diceritakan George Baccaloni, peneliti Wallace yang bekerja untuk Natural History Museum di London, Inggris. Dalam sebuah perbincangan menarik di London, pertengahan Maret 2018, Kompas banyak mendapat informasi dari George yang sudah 15 tahun lamanya menggeluti sosok Wallace berikut penelitiannya.
Beberapa penelitian menyebut bahwa ide tentang teori seleksi alam Wallace muncul saat ia terbaring demam di Ternate, Februari 1858. Ide yang kemudian dicetuskan dalam tulisan berjudul”On The Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from The Original Type” itu dikirim kepada Charles Robert Darwin, naturalis Inggris yang dikagumi Wallace ketika itu. Pada akhir tulisan suratnya, Wallace menggoreskan kota Ternate berikut bulan dan tahun. Tulisan itu lantas dikenal sebagai ”Ternate Paper” atau Surat dari Ternate.
Perdebatan tentang di mana persisnya lokasi Wallace saat mendapat ilham tentang seleksi alam sebaiknya tak menguras energi. Akan tetapi, yang terpenting adalah warisan ilmiah atas apa yang sudah dilakukan Wallace di Nusantara. Teorinya yang disebut-sebut sebagai pemicu lahirnya ide tentang evolusi, ataupun deskripsinya tentang keragaman flora dan fauna yang amat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, akan menjadi sia- sia apabila tidak digali dan dikembangkan.
Sayangnya, persis apa yang terjadi dalam kunjungan Kompas ke Dodinga, tak ada penduduk setempat yang mengenal sosok Alfred Russel Wallace. Bahkan, untuk sekadar mendengar namanya sekali pun, semuanya menggeleng. Penduduk tertua di Dodinga yang diharapkan dapat memberi informasi penting, Haji Bakir (86), tak memiliki ingatan soal ”bule” yang pernah berdiam di Dodinga bernama Wallace.
”Kakek ataupun orangtua saya tak pernah menyinggung nama itu. Tetapi, saya masih ingat saat desa ini dijatuhi bom pesawat pasukan Jepang pada perang di tahun 1944,” kata Bakir saat ditemui di rumahnya.
Penuturan Wallace tentang pengalamannya di Dodinga ditulis dalam bukunya, The Malay Archipelago, persisnya di halaman 240. Pada bagian akhir paragraf pertama ia menulis: My first stay was at Dodinga, situated at the head of a deep bay exactly opposite Ternate, and a short distance up a little stream which penetrates a few miles inland. The village is a small one, and is completely shut in by low hills.
Dodinga memang terletak di teluk yang berhadapan langsung dengan Pulau Ternate. Sebagian wilayah desa itu dikepung lembah dan terdapat aliran sungai kecil seperti yang disinggung Wallace dalam bukunya.
Sayangnya, tak ada satu pun jejak atau peninggalan yang menunjukkan Wallace pernah tinggal di desa itu. Kendati demikian, masih ada tanda-tanda yang masih tersisa seperti yang ditulis Wallace dalam catatannya, misalnya (reruntuhan) benteng Portugis dan sejumlah meriam.
Laboratorium raksasa
Kawasan Wallacea, yang meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara, oleh peneliti diibaratkan sebagai laboratorium alam raksasa. Di dalamnya terhampar kekayaan alam dengan keragaman hayati luar biasa. Mulai dari Wallace, sampai kini peneliti Barat masih menyimpan kekaguman di kawasan tersebut.
Peter Wilkie, Kepala Peneliti Sapotaceae pada Royal Botanic Garden Edinburgh, Skotlandia, menyebut keragaman hayati di kawasan Wallacea sangat masif. Sejauh ini tercatat ada sekitar 10.000 spesies tanaman di kawasan tersebut yang mana 1.500 spesies termasuk endemis. Itu belum termasuk jenis burung, mamalia, dan reptil yang tingkat endemisnya sekitar 50 persen.
Guru Besar Biologi Konservasi Universitas Indonesia, Jatna Supriatna, mengatakan hal serupa. Bahkan, ia punya pendapat khusus tentang Sulawesi yang merupakan pulau terbesar di kawasan Wallacea itu. Menurut dia, Sulawesi adalah laboratorium alam terbaik untuk mempelajari sejarah evolusi makhluk hidup.
”Hampir 70 persen mamalia yang ada di Sulawesi masuk dalam kategori endemis. Masing- masing punya keunikan yang tidak terdapat di daerah lain,” ujar Jatna dalam sebuah diskusi di Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu.
Tantangan
Akan tetapi, gambaran surga bagi para peneliti tentang kawasan Wallacea itu tidak bisa dibilang bebas dari ancaman. Hutan-hutan alami di kawasan Wallacea dirusak, dihancurkan, dan diganti dengan tanaman bukan aslinya, yaitu kelapa sawit atau kakao. Belum lagi serbuan tambang yang membuat habitat alami satwa endemis Wallacea kian surut.
”Selain serbuan alih fungsi hutan, kesadaran akan keragaman hayati di wilayah tersebut masih minim. Jika dibiarkan, keseimbangan ekosistem Wallacea akan menghadapi masalah serius,” ucap Peter yang beberapa kali melakukan penelitian di Indonesia, seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.
Tak hanya persoalan lingkungan, indeks pembangunan manusia (IPM), yang menjadi ukuran bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam hal pendapatan, kesehatan, dan pendidikan, di kawasan Wallacea pun patut mendapat perhatian. Berdasarkan data statistik, rata-rata IPM nasional pada 2017 adalah 70,81.
Satu-satunya provinsi di kawasan Wallacea yang mendekati dan melampaui IPM nasional adalah Sulawesi Selatan (70,34) dan Sulawesi Utara (71,66). Provinsi dengan peringkat IPM di bagian bawah adalah Nusa
Tenggara Timur (63,73), Sulawesi Barat (64,3), dan Maluku (68,19).
Agaknya, pernyataan mantan Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Sangkot Marzuki, yang bernada kekhawatiran, benar adanya tentang memori Indonesia terhadap Wallace. Untuk sekadar mengingat warisan penting Wallace di Nusantara saja, kita sulit merawatnya. Jejak tempat tinggalnya pun tidak utuh. Bagaimana dengan warisan pemikirannya?