Roti sagu adalah salah satu koleksi unik yang dikumpulkan AR Wallace dalam petualangannya di Nusantara dalam kurun 1854- 1862. Empat keping roti sagu, yang bentuk dan ukurannya mirip dengan roti tawar, tersimpan rapi di Kew Royal Botanic Gardens, London, Inggris. Naturalis asal Inggris itu mendapatkannya dalam perjalanan di Pulau Seram, Maluku, pada akhir 1859, dan menyebutnya sebagai roti lezat saat dinikmati dalam keadaan panas dengan dicampur sedikit mentega.
Dalam buku populernya berjudul The Malay Archipelago, Wallace mendeskripsikan proses pembuatan roti sagu sangat detail. Tak hanya menceritakannya dalam bentuk teks, di halaman 290 buku tersebut, Wallace juga membuat sketsa orang tengah membuat sari pati sagu. Gambar cetakan sagu untuk membentuknya menjadi mirip dengan roti tawar tersaji di halaman berikutnya.
”They were my daily substitute for bread with my coffee,” tulis Wallace di halaman 291 buku The Malay Archipelago. Pada bagian itu, terang sekali Wallace menyebutnya sebagai pengganti roti cocok yang dinikmati sebagai teman minum kopi. Ia juga menyebut roti sagu sebagai pengganti nasi.
Maret lalu, Kompas menyaksikan koleksi sagu Wallace itu masih utuh di ruang penyimpanan Kew Royal Botanic Gardens. Selain sagu, koleksi lain yang disimpan di tempat tersebut adalah baju yang terbuat dari kulit pohon murbei yang diperolehnya dari Pulau Bacan, Maluku Utara.
Menu sarapan
Produksi sagu dalam bentuk roti masih dibuat masyarakat di Maluku, seperti di Desa Dodinga, Kecamatan Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara. Alwiyah (45), salah satu warga di desa tersebut, adalah satu dari sedikit warga yang memproduksi roti sagu. Hanya saja, bahan baku utama yang ia buat tidak berbahan pati tanaman sagu, melainkan dari pati singkong. Masyarakat di sana tetap menyebutnya sebagai sagu.
Dalam sehari, Alwiyah bersama satu rekannya, memproduksi sekitar 300 lembar roti yang bentuk dan ukurannya tak jauh beda dengan roti tawar yang dijual di toko-toko. Bekerja sejak pukul 04.00, pati kering singkong dimasukkan ke dalam cetakan selama 2-3 menit. Sebelumnya, cetakan dari tanah liat itu sudah dipanaskan terlebih dahulu di atas tungku.
”Roti sagu kemudian dijemur selama satu atau dua hari agar tahan selama sebulan. Kalau tidak dijemur, roti sagu hanya sanggup bertahan selama seminggu,” ujar Alwiyah.
Abdullah (52), salah satu warga di Desa Dodinga, setiap pagi masih mengonsumsi roti sagu sebagai menu utama sarapan. Namun, ia tak menampik jika nasi sudah menjadi bahan makanan utama selain roti sagu. Dirinya masih memakan sagu lantaran sudah berlangsung turun-temurun sedari ia masih kecil.
Tergusur beras
Sagu kian tersingkirkan di masyarakat Maluku seiring kebijakan pemerintah yang lebih memprioritaskan padi, jagung, dan kedelai dalam program swasembada pangan. Selain tanah di Maluku tidak seluruhnya cocok untuk tanaman padi, masyarakat asli Maluku pun kurang cukup ahli dalam bercocok tanam padi di sawah.
Pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, Marcus Luhukay, mengatakan, di Maluku memang terdapat sejumlah wilayah yang menjadi sentra penghasil beras, seperti di Pulau Buru atau Pulau Seram. Namun, padi yang dihasilkan di pulau-pulau itu merupakan hasil garapan para transmigran dari Jawa. Orang asli Maluku kurang cukup ahli dalam menanam padi di sawah.
”Mereka (orang asli Maluku) sudah jarang membuat sagu. Masyarakat di desa lebih menunggu pembagian raskin. Kalau kondisi cuaca buruk yang menyebabkan pengiriman raskin tertunda, itu baru mereka ke hutan membuat sagu,” ucap Marcus.
Data dari Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Maluku menunjukkan, tingkat konsumsi sagu masyarakat Maluku hanya 3,2 gram per kapita per hari. Adapun konsumsi beras 310,7 gram per kapita per hari. Konsumsi beras yang lebih tinggi dibandingkan sagu sejalan dengan berkurangnya luas hutan sagu di Maluku. Tahun ini, ada 36.554 hektar hutan sagu di Maluku.
”Sekitar 50 tahun silam, hutan sagu masih seluas 100.000 hektar. Sekarang, pemerintah mulai fokus mengembangkan sagu di Kabupaten Seram Bagian Timur,” kata Kepala Seksi Produksi Perkebunan pada Dinas Pertanian Provinsi Maluku, Yoke Saimima.
Dalam buku Sagu: Mutiara Hijau Khatulistiwa yang Dilupakan (2013), jika lahan sagu di Indonesia seluas 1,25 juta hektar dan setiap hektarnya menghasilkan 37,5 juta ton pati kering, itu dapat memberi makan untuk 200 juta orang setiap tahunnya. Pati sagu, selain untuk bahan makanan pokok, juga dapat diolah menjadi kerupuk, biskuit, dan makanan kecil lainnya.(FRN/LUK/APO)