Gawai Merenggut Pikiran Sehat AR
Gawai tidak hanya mengusik masa depan anak-anak di perkotaan. Beragam konten negatif dalam gawai, termasuk pornografi dan percabulan, beredar luas di perdesaan hingga wilayah terpelosok. Konten itulah yang merusak pikiran AR (17), bahkan menjerumuskannya ke dalam sel.
Dalam usia yang masih muda, AR divonis 2 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian, Jambi. Ia didakwa bersalah karena memerkosa adik kandung sendiri, WA (15).
Hingga WA akhirnya mengandung, AR bahkan masih kerap memerkosanya. Perbuatan bejat itu dia akui sudah sembilan kali dilakukan setiap pulang dari sekolah.
Apa yang terjadi di sekolah? AR mengaku kerap menonton film-film porno dalam gawai milik temannya. Seusai kegiatan belajar-mengajar, mereka biasanya akan beranjak ke sebuah bangunan lain dalam kompleks sekolah. Di sanalah film porno dalam gawai diputar. Meski masih di kompleks madrasah, menurut AR, tak ada guru yang mengawasi.
Tak jarang temannya dikirimi film baru dari teman yang lain. Akhirnya, adegan-adegan porno kerap memenuhi otaknya. ”Saya memang terpengaruh film-film porno yang ada di HP,” katanya saat ditemui di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Muara Bulian, Senin (30/7/2018).
Hubungan persaudaraan AR dan WA terbilang kurang dekat. AR sehari-hari jarang mengobrol dengan adiknya. Sebab, mereka hanya bertemu di rumah sepulang sekolah selepas pukul 15.00. Namun, kerap kali adegan porno dari gawai memenuhi pikirannya sehingga setibanya di rumah, AR mengaku tak mampu menahan diri lagi. Ia mengancam adiknya. Jika menolak akan dipukuli.
Hingga sang adik hamil, ibunya pun tidak pernah mengetahui peristiwa yang terjadi pada anak-anaknya. Sang ibu, AD (37), merupakan orangtua tunggal. Sehari-hari ia menyadap karet dan menjadi buruh tani di desa. Ia merupakan tulang punggung keluarga selepas ditinggal suaminya menikah kembali. Berangkat kerja pukul 07.00, biasanya AD baru kembali ke rumah selepas pukul 17.00.
Selain tak mengetahui ancaman besar tengah menyelubungi putrinya, AD pun tak menyadari putranya berubah menjadi macan seks. Ketika perut WA semakin membesar, luput pula dari kecurigaannya. ”Memang saya lihat badannya tambah gemuk, tetapi saya tak mengira bahwa itu karena (WA) hamil,” jawab AD.
Kasus pemerkosaan AR terhadap WA terkuak setelah ditemukannya jasad bayi terkubur di sebuah kebun sawit. Setelah diselidiki aparat Polres Batanghari, Jambi, terungkap pemilik bayi adalah WA dan AR. Berita itu segera menggemparkan seisi desa.
Tak berani
WA mengaku tidak berani mengadu kepada ibunya. Sebab, ia berada dalam ancaman abangnya. Ia menanggung seluruh beban itu sendirian.
Satu sore, WA mengeluh perutnya sakit. Karena mengira anaknya haid, sang ibu lalu membuatkannya jamu kunyit. Minuman itu ternyata memicu bayi dalam kandungan WA gugur. ”Sewaktu bayinya keluar, saya sembunyikan di bawah tempat tidur. Lalu, saya kubur di kebun sawit,” aku WA.
Kisah pemerkosaan dan temuan jasad bayi telah menyeret kakak beradik dan ibunya itu ke dalam sel. WA yang menjadi korban pemerkosaan divonis 6 bulan penjara oleh hakim dengan jerat pasal perlindungan anak. WA dianggap melakukan aborsi. Melalui kuasa hukumnya, pekan lalu, remaja itu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jambi.
Kuasa hukum WA, Damai Idianto, mengatakan, WA adalah korban pemerkosaan sehingga semestinya mendapatkan perlindungan hukum, bukan jerat hukum. WA semula tak mengetahui dirinya hamil. WA mengalami pendarahan setelah ibunya memberikan seduhan jamu. Tak lama kemudian, kandungannya gugur.
Di persidangan, WA mengaku menggosok-gosokkan perutnya dengan minyak angin. ”Namun, itu dilakukan karena ia merasakan perutnya mulas, bukan sengaja ingin menggugurkan kandungan,” ucapnya.
Direktur Beranda Perempuan Ida Zubaidah mengatakan, bebasnya konten negatif beredar dalam gawai menjadi momok di perdesaan. Warga di pelosok cenderung minim pengetahuan untuk menyaring konten yang baik dan buruk. Mereka tak menyadari dampak buruk di kemudian hari pada anak muda. Besarnya keterkaitan antara penggunaan gawai dan meningkatnya kekerasan fisik dan seksual di perdesaan. Anak dan perempuan selalu jadi korban.
Menurut Ida, persoalan itu perlu diantisipasi, di antaranya lewat pengawasan dan pendidikan seksual sejak dini. Anak perempuan perlu lebih berani melapor atau bersikap atas kekerasan yang dialami. Jangan sampai di kemudian hari mereka justru terjerat hukum atas bencana kekerasan seksual yang dialami.
Saat ditemui di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan, WA (15) masih berusaha keras menahan duka di hatinya. Acap kali ditanya, ia hanya menyahut pelan. Selebihnya ia diam menunduk dan menjaga jarak dengan siapa pun. Namun, ketika ditanya apa harapannya saat ini, mata WA terpejam. Pikirannya dengan cepat berkelana. Benteng pertahanan dirinya runtuh dalam sekejap. Air mata pun tak mampu lagi terbendung. ”Aku hanya ingin cepat pergi bersama ibu,” ucapnya.
Diakui WA, sel tempatnya mendekam saat ini menjadi tempat yang paling aman untuk berlindung. Ia bebas dari ancaman abangnya, tetapi dia ingin segera hidup normal. Adik bungsunya berusia 7 tahun pasti telah cemas menanti di rumah. Mereka tak lagi bertemu sejak ia ditahan bersama ibunya. Selesai menangis, WA akhirnya mencoba tersenyum. Katanya, masih terselip cita-cita untuk menjadi guru Matematika. ”Nilai Matematika saya selalu 100,” ucapnya. (ITA)