BANDUNG, KOMPAS Sesar Lembang di Jawa Barat diidentifikasi berpotensi memicu gempa berkekuatan Magnitudo 6,5-7. Namun, sosialisasi bagi masyarakat yang kini tinggal di sekitar jalur sesar masih minim.
”Banyak bangunan didirikan persis di jalur sesar Lembang. Ke depan, peta jalur sesar perlu dipublikasikan lebih luas agar dapat diakses masyarakat. Dengan begitu, warga bisa mendirikan bangunan di lokasi lebih aman,” ujar peneliti senior gempa bumi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman, dalam diskusi bertema ”Sesar Lembang: Ancaman di Balik Keindahan” di Kota Bandung, Rabu (8/8/2018).
Menurut Danny, gempa akibat pergerakan sesar Lembang dapat berskala intensitas VII-VIII Modified Mercalli Intensity (MMI). Guncangan pada skala itu rentan menyebabkan kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi kuat dan retak-retak pada bangunan dengan konstruksi kurang baik. ”Guncangannya bisa seperti di Lombok,” ujarnya.
Sesar Lembang membentang sekitar 29 kilometer dari Gunung Manglayang, Kabupaten Bandung, sampai Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Dengan jarak tidak terlalu jauh ke pusat Kota Bandung, gempa akibat sesar berisiko menyebabkan kerusakan besar karena dekat permukiman padat penduduk.
”Apalagi, kondisi tanah di Kota Bandung merupakan endapan Danau Bandung purba. Hal ini membuat daya rambat gempa cukup besar sehingga guncangan akan terasa kuat,” ujarnya.
Peta jalur sesar
Danny menuturkan, di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Selandia Baru, pemetaan jalur sesar sudah disosialisasikan. Bangunan di kawasan rawan gempa didirikan dengan konsep tahan gempa.
”Sekitar 20 meter dari jalur sesar tak boleh didirikan bangunan, terutama fasilitas umum. Di beberapa lokasi terdapat papan informasi untuk menandakan letak jalur sesar,” ujarnya.
Menurut Danny, sebagai negara yang sering dilanda gempa, standar bangunan tahan gempa sepatutnya diterapkan di Indonesia. Hal itu dapat dilakukan dengan modifikasi sederhana pada konstruksi bangunan rumah.
”Bisa ditambahkan tiang penguat. Jadi, di antara tiang rumah yang vertikal dipasang tiang diagonal untuk menjaga tiang utama tidak roboh saat diguncang gempa,” ujarnya.
Danny mengatakan, teknik konstruksi itu sudah diterapkan di Jepang. Hasilnya, saat terjadi gempa, bangunan tidak roboh.
Pembicara lain, dosen geologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Benjamin Sapiie, mengatakan, pemetaan jalur sesar dibutuhkan sebagai langkah antisipasi. Sebab, gempa belum dapat diprediksi waktu terjadinya sehingga mitigasi mutlak dilakukan untuk mengurangi dampak. ”Edukasi sangat penting karena banyak warga tinggal di sekitar Sesar Lembang,” ujarnya.
Sementara itu, ITB memasang 13 seismometer di Lombok Tengah, Lombok Barat, Lombok Timur, dan Lombok Utara, Selasa (7/8). Sebanyak 7 unit di antaranya dipasang atas kerja sama ITB dan Earth Observatory of Singapore.
Ketua tim ITB sekaligus Ketua Kelompok Keahlian Geofisika Global ITB Nanang Puspito di Bandung mengatakan, alat-alat itu akan memantau gempa susulan di Lombok hingga sebulan ke depan. Rekaman gempa itu untuk kepentingan analisis potensi gempa selanjutnya.
ITB juga membentuk tim satgas bencana Lombok untuk menyusun rencana dan aksi bantuan untuk Lombok. (TAM/CHE)