Divonis Dua Tahun, Wali Kota Malang Nonaktif Tak Naik Banding
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS - Wali Kota Malang nonaktif Muchammad Anton menerima putusan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya yang memvonis dua tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan. Anton menyatakan tidak akan mengajukan banding.
Selain menjatuhkan pidana penjara dan denda, majelis hakim yang diketuai Unggul Warsa Murti, Jumat (10/8/2018), juga menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak dipilih selama dua tahun. Vonis itu satu tahun di bawah tuntutan jaksa, yakni tiga tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan.
juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih selama dua tahun. Pencabutan hak terhitung setelah terdakwa selesai menjalani hukumannya.
“Mengadili, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 5 Ayat 1 huruf a Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 KUHP,” ujar Unggul.
Saya menerima putusan itu dengan ikhlas. Apapun itu adalah untuk saya dan keluarga.
Majelis hakim dalam pertimbangannya sependapat dengan dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Anton terbukti bersama mantan Sekda Kota Malang Cipto Wiyono dan mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang Kota Malang Jarot Edy Sulistyono memberi uang Rp 700 juta kepada Ketua DPRD Kota Malang Arief Wicaksono dan seluruh anggota DPRD periode 2014-2019.
Pemberian uang itu memenuhi permintaan seluruh anggota DPRD Kota Malang terkait kompensasi pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Uang yang diistilahkan pokok-pokok pikiran (pokir) itu besarnya Rp 200 juta per anggota tanpa membedakan jabatan.
Menjelang pembahasan APBD Perubahan 2015, anggota DPRD mendesak terdakwa selaku Wali Kota Malang segera mencairkan dana pokir yang besarnya 10 persen dari jatah yang diterima masing-masing anggota DPRD. Terdakwa lalu menugaskan Sekda Cipto Wiyono menyiapkannya.
Sekda Cipto Wiyono menindaklanjuti dengan meminta Jarot menyiapkan uang dengan meminta perusahaan rekanan Pemkot Malang. Uang dikumpulkan melalui pengusaha Tedy Sujadi Soemana dan setelah terkumpul diserahkan kepada Arief Wicaksono di ruang kerjanya.
Hakim Lufsiana (salah satu anggota majelis hakim) mengatakan, terdakwa mengaku terus didesak anggota DPRD Kota Malang terkait pencairan uang pokir. Salah satunya oleh Arief Wicaksono yang meminta agar bila uangnya siap segera diserahkan sebelum Hari Raya Idul Fitri.
Terdakwa merupakan pihak yang paling berkepentingan terhadap disetujuinya APBD Perubahan 2015 Kota Malang. Alasannya agar pembangunan bisa berjalan sesuai rencana. Pada akhirnya pengusaha Tedy menyerahkan uang Rp 900 juta dengan rincian Rp 200 juta kepada Cipto Wiyono dan Rp 700 juta kepada Arief Wicaksono.
Menanggapi putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya tersebut, terdakwa menyatakan menerima dan tidak akan mengajukan banding. Pernyataan itu disampaikan langsung oleh terdakwa dihadapan majelis hakim dan hadirin peserta sidang setelah berkonsultasi dengan kuasa hukumnya.
“Saya menerima putusan itu dengan ikhlas. Apapun itu (isi putusannya) adalah untuk saya dan keluarga,” ujar Anton seraya menangis.
Kuasa hukum terdakwa Harris Fajar Kustaryo mengatakan terdakwa menerima putusan majelis hakim karena tidak ingin berlarut-larut. Meski kliennya mengatakan tidak mengetahui kasus suap itu karena semua diurus oleh mantan Sekda Cipto Wiyono, namun terdakwa mengakui teledor dalam melakukan pengawasan terhadap bawahan.
“Abah (sebutan bapak) Anton mau mengambil resiko dari tanggungjawab pekerjaannya sebagai Wali Kota Malang dan mengakui keteledorannya karena tidak melakukan pengawasan secara maksimal terhadap kinerja bawahan,” ujar Harris.
Berbeda dengan terdakwa yang menerima putusan majelis hakim, jaksa KPK Arief Suhermanto menyatakan pikir-pikir. Alasannya, pihaknya harus berunding dengan ketua KPK sebab putusan majelis hakim lebih rendah dari tuntutan yang diajukan yakni agar terdakwa dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider enam bulan penjara. Selain itu agar terdakwa dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih selama empat tahun.