KUNINGAN, KOMPAS - Bantuan air bersih terus diberikan untuk sebagian warga Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Hal itu harus dilakukan seiring belum tertanganinya masalah kekeringan di daerah tersebut.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kuningan, ada lima desa di tiga kecamatan yang terdampak kekeringan. Desa itu adalah Cihanjaro, Simpayjaya, dan Sukasari di Kecamatan Karangkancana, Jambugeulis (Cigandamekar), dan Pamupukan (Ciniru). Sebanyak 4.945 orang kesulitan mendapatkan air bersih.
”Kami terus berupaya menangani masalah ini. Setiap hari ada 10 mobil tangki berisi air dikirimkan ke sejumlah daerah,” ujar Kepala Pelaksana BPBD Kuningan Agus Mauludin, di Kuningan, Minggu (12/8/2018). Setiap tangki berkapasitas sekitar 5.000 liter.
Akan tetapi, ia mengatakan, masih ada daerah yang belum terjamah bantuan air. Beberapa di antaranya Dusun Jombang dan Dusun Bakom di Desa Pamupukan yang dihuni 524 jiwa.
”Distribusi air bersih tidak memungkinkan karena akses jalan kecil, rusak, dan penuh tanjakan curam,” ujar Agus.
Menurut dia, penanganan di Jombang akan dilakukan dengan cara menarik air menggunakan pompa dan pipa sepanjang 500 meter dari mata air Walungan Cigalih. Penanganan serupa juga dilakukan di Dusun Bakom dengan memanfaatkan mata air Bukit Pangleseran menggunakan pipa sepanjang 200 meter.
Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Kuningan menetapkan siaga kekeringan dan kebakaran hutan serta lahan memasuki musim kemarau pada bulan Juli hingga Oktober 2018. Selama rentang waktu tersebut, BPBD Kuningan menyiapkan langkah penanggulangan kekeringan.
Kepala Desa Simpayjaya Dodo Kusumah mengapresiasi penanganan krisis air bersih dengan pengiriman bantuan air bersih tersebut.
”Akan tetapi, ini belum cukup. Setiap hari, kami membutuhkan empat tangki, tetapi hanya dikirim empat atau lima tangki dalam tiga hari,” ujar Dodo.
Simpayjaya merupakan daerah yang paling terdampak kekeringan, yakni 1.662 jiwa. Dua tahun terakhir, desa itu mendapat pasokan air dari desa tetangga, Jabranti, menggunakan pipa sepanjang 900 meter. Namun, pasokan itu terhenti pascalongsor pada Februari lalu.
”Kami kini minum pakai air sawah dan sungai,” kata Dodo.