Mengangkat Pamor Kelapa di Maluku Tengah
Badan Pusat Statistik mencatat, produksi kelapa di Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, yang mencapai hampir 30.000 ton setiap tahun, hampir semuanya berakhir menjadi kopra. Di sisi lain, nilai jual kopra terus terombang-ambing oleh gelombang pasar dan dalam kendali tengkulak sehingga petani kelapa tak berdaya.
Mengolah kopra tak mudah. Mengambil buah, melepas serabut, membelah, mencongkel daging dari batok, menjemur selama beberapa hari, lalu memadatkan ke dalam karung sebelum dijual. Namun, pekerjaan cukup berat dan membutuhkan waktu selama beberapa hari itu tak sebanding dengan hasilnya. Saat ini, harga 1 kilogram kopra tak sampai Rp 5.000.
Abdul Rasyid Wattimena, warga Desa Rutah, Kecamatan Amahai, Maluku Tengah, petani kelapa yang bertahun-tahun mengolah kopra, mengatakan, rugi adalah hal biasa. Ia pun berpikir untuk mengolah kelapa menjadi produk lain yang lebih bernilai.
Suatu ketika, ia menyaksikan tayangan pengolahan minyak kelapa murni (virgin coconut oil/VCO) di televisi. Pernah ingin mencoba, tetapi ia ragu lantaran tidak ada pendamping. Ide itu pun layu sebelum berkembang.
Rasa penasaran Rasyid baru terjawab dua bulan lalu setelah kampungnya dikunjungi mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dalam rangka Kuliah Kerja Nyata Program Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM). Kegiatan yang bekerja sama dengan Pemerintah Selandia Baru itu berupa pendampingan bagi masyarakat untuk mengolah potensi ekonomi lokal. Dalam hal ini kelapa. Salah satunya lewat pembuatan VCO.
Setelah mengikuti pelatihan, Rasyid langsung mencoba. Dengan bahan 25 butir kelapa, ia menghasilkan 1 liter VCO dalam waktu sehari. Hasil olahan itu ia pamerkan saat gelar produk yang diselenggarakan UGM di Masohi, ibu kota Kabupaten Maluku Tengah, Selasa (7/8/2018). VCO-nya laku, ia memperoleh uang Rp 350.000.
Nilai tambah telah dirasakan Rasyid. Bila hanya diolah menjadi kopra, selain butuh waktu kerja beberapa hari, uang yang dihasilkan Rasyid dari 25 butir kelapa hanya Rp 25.000. Hitungannya: 25 buah kelapa bisa menghasilkan sekitar 5 kg kopra seharga Rp 5.000 per kg.
Rasyid pun bersemangat dan ingin meningkatkan produksi VCO-nya. Masyarakat meyakini manfaat dari VCO, di antaranya untuk antikanker, produk kecantikan, dan pengobatan luka lecet.
”Kami bersyukur dengan kehadiran mahasiswa yang membawa ide. Selama ini, mahasiswa KKN hanya membuat papan nama dan beberapa pekerjaan fisik. Kalau fisik, satu atau dua tahun sudah rusak, tapi kalau ide akan bertahan selamanya,” ujarnya.
Briket
Lain lagi dengan Obed Nego Ngilamele, warga Desa Layeni, Kecamatan Teon Nila Serua. Sebelumnya, Obed membuat batu bata, kini ia beralih menjadi produsen bahan bakar briket dari batok kelapa berikut kompornya. Tahun lalu, saat kegiatan KKN UGM pertama, seorang mahasiswa menawarkan ide briket.
Di daerah yang kaya kelapa itu, bahan pembuatan briket tidak sulit dicari. Obed mengumpulkan batok dari tempat-tempat pengolahan kopra. Setelah dibersihkan dari sabut, batok dibakar menjadi arang kemudian digiling dan dicampur papeda sebagai pelekat.
Dari 1 kilogram tempurung, Obed bisa mendapatkan dua briket yang dijual Rp 5.000 per buah. Briket itu berbentuk silinder berdiameter sekitar 12 sentimeter dan panjang 15 sentimeter. Sementara kompor dijual Rp 250.000 per buah. Kini pesanan mulai datang. Dua kompor dan belasan briket produksinya terjual.
Briket dinilai lebih ekonomis. Satu briket bisa bertahan hingga 5 jam sebagai bahan bakar. Sementara jika memakai bahan bakar minyak tanah seharga Rp 5.000 per liter, hanya bisa dipakai kurang dari 3 jam. Memasak dengan briket pun dianggap lebih praktis ketimbang menggunakan minyak tanah. Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kabupaten Maluku Tengah Amien Ruati Tuasikal mengakui keunggulan briket.
Sementara itu, Balto Xavry Riupassa dari Desa Wootay, yang baru merintis usaha mebel, banting setir mengolah air kelapa menjadi sari kelapa (nata de coco). Gudang pembuatan mebel miliknya kini diubah menjadi tempat produksi sari buah itu. Ide tersebut ia dapatkan dari beberapa dosen pendamping lapangan UGM dua bulan lalu.
Kini, Balto mempekerjakan 12 orang di usaha barunya. Dalam seminggu, ia meraup penghasilan sekitar Rp 2 juta dari penjualan sari kelapa. Selain itu, ia mengolah VCO dan sabun.
Dukungan
Balto, Obed, dan Rasyid sama-sama mengharapkan dukungan dari pemerintah agar produksi mereka mendapat izin edar supaya bisa bersaing di pasaran. Mereka ingin menjualnya ke luar daerah, di Maluku ataupun luar Maluku.
Ari Noor, mahasiswa Fakultas Psikologi UGM, terkesan dengan penerimaan masyarakat atas sejumlah program pemberdayaan yang mereka tawarkan. Sebelum ke Maluku Tengah, sebanyak 90 mahasiswa yang ikut dalam program itu mengikuti pembekalan tentang apa yang akan dikerjakan. Mereka berasal dari berbagai latar belakang. ”Dong (mereka) suka dengan hal baru,” ujar Ari menggunakan bahasa Melayu Ambon.
Selain mengolah kelapa, ada mahasiswa yang melatih para ibu untuk membatik. Pelatihan membatik dikoordinasikan oleh Anisa Intan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Sebelum ke Maluku, Anisa belajar selama tiga minggu pada perajin batik di Bantul, DI Yogyakarta. Para mahasiswa dan warga sempat kesulitan mendapatkan bahan untuk membatik di Maluku Tengah sehingga harus memesan dari Ambon dan Pulau Jawa.
Purwanto, dosen pembimbing lapangan UGM, mengatakan, tantangan yang dihadapi mahasiswa dalam pendampingan itu adalah menyatukan kekuatan warga yang masih cenderung berjalan sendiri-sendiri. Diperlukan tokoh yang bisa merangkul warga.
Kendati demikian, Purwanto meyakini banyak warga memiliki visi untuk maju lewat usaha kecil, terutama untuk pengolahan kelapa. Kehadiran mahasiswa telah membuka mata masyarakat dan pemerintah setempat tentang besarnya potensi daerah yang bisa diolah menjadi produk bernilai ekonomi lebih tinggi.
Bupati Maluku Tengah Abua Tuasikal menyatakan keinginan agar kerja sama dengan UGM berlanjut.
Namun, tak kalah penting adalah pendampingan berkelanjutan dan penguatan modal dari pemerintah.