Tata Api Jadi Tempat Wisata
Nyaris setiap tahun Gunung Ciremai (3.078 meter di atas permukaan laut) di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, terancam kebakaran hebat kala kemarau tiba. Kini, penduduk setempat bersama Balai Taman Nasional Gunung Ciremai membalikkan kondisi itu. Daerah rawan kebakaran ditata menjadi destinasi wisata yang menawan.
Di bawah panas terik matahari, Musa (50) membabat ilalang dan rerumputan di Blok Pejaten, Desa Kaduela, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, Senin (23/7/2018) siang. Menjaga lengannya dari sengatan sinar matahari, ia memilih memakai kemeja panjang. Kaus usangnya dimodifikasi menjadi pelindung wajah. Sarung tangan lusuh dipakainya untuk mencegah jemari terluka saat menyabit rumput.
Siang itu, bersama 20 warga yang tergabung dalam Kelompok Jaya Pakuan, Musa tengah menyelamatkan masa depan lewat sekat bakar di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Sekat bakar adalah salah satu cara pencegahan meluasnya kebakaran hutan. Metodenya, membuat jalur pemisah khusus untuk menghambat api tak membakar kawasan lebih luas. Sekat bakar juga menjadi jalur bagi warga untuk memadamkan api.
Alat yang digunakan Musa dan warga lainnya sederhana. Mereka memakai cangkul, parang, sabit, tongkat kayu, dan peralatan lainnya secara swadaya. Ilalang dan rerumputan dibabat hingga menyisakan hanya tanah dan batu. Bentuknya, seperti parit selebar 2 meter hingga 10 meter.
Ilalang itu lantas ditumpuk di sepanjang jalur bekas pangkasan. Harapannya, saat api datang hanya akan membakar ilalang sehingga api tidak menjalar ke pepohonan.
Tidak hanya itu, di sekitar jalur sekat bakar sepanjang 4 kilometer terdapat 10 kolam tempat penyimpanan air. Ini menjadi ”amunisi” untuk memadamkan api jika hutan terbakar. ”Sebulan ini, saya datang ke sini setiap pagi pukul 08.00 sampai sore. Capek. Tapi, kalau tidak datang, hutannya pasti terbakar,” ujar Musa.
Pejaten yang masuk kawasan TNGC sangat rawan kebakaran hutan. Penyebabnya bisa jadi puntung rokok yang dibuang sembarangan, warga usil yang sengaja membuat onar, atau tersulut api dari pembakaran lahan di kawasan lain.
Pejaten bahkan disebut ring 1 kebakaran hutan. Api kerap berasal dari sana karena banyak rumput dan pohon kering saat kemarau.
Jika tidak diantisipasi, api bisa merambat ke ring 2 di Batu Luhur dan ring 3 di Blok Kubang Wangi, Padabeunghar. Tahun lalu saja, seluas 107 hektar lahan terbakar. Beberapa batang pohon yang menghitam jadi bukti kehadiran si jago merah. Padahal, peran TNGC sangat vital sebagai penyedia air bersih warga. Air itu tidak hanya untuk warga Kuningan, tetapi juga untuk warga Kota Cirebon.
Susah jodoh
Pejaten kini bertransformasi. Balai TNGC bersama Jaya Pakuan, yang berdiri tahun lalu, menjadikan daerah seluas 200 hektar itu sebagai destinasi wisata sejak 2017.
Kelompok itu terdiri atas warga empat desa sekitar TNGC, yaitu Padabeunghar, Kaduela, Pasawahan, dan Cikalahang. Harapannya, warga akan menjaga hutan agar tak terbakar dan tetap menawan bagi wisatawan.
Bukit Cinta, Pejaten, misalnya. Di ketinggian sekitar 280 mdpl ada saung, tempat untuk bersantai sekaligus untuk memantau kemunculan titik api. Dari sana, lanskap Kota Cirebon dan pemandangan bebatuan besar bekas letusan Gunung Ciremai bisa terlihat.
Kelompok itu juga mengajak wisatawan menanam pohon bersama. Wisata edukasi itu menjadi buah dari pendampingan yang dilakukan Japan International Cooperation System (JICS), yang menghijaukan 60 hektar lahan gundul Pejaten. Saat ini ada ribuan bibit pohon yang disemai. Beberapa di antaranya bendo (Artocarpus elasticus), bunut (Ficus sp), ki beusi (Dodonaea viscosa), dan salam (Syzygium polyanthum).
Beberapa tulisan yang berisi ajakan dalam bahasa Sunda agar pengunjung menjaga lingkungan terpampang di sejumlah titik. Salah satunya mengaitkan sampah dengan jodoh seseorang.
Nu miceun runtah dimana bae gebrugna didoakeun hese gawe jeung hese jodo! (Yang membuang sampah sembarangan sulit mendapatkan pekerjaan dan jodoh !). Begitu kampanye buang sampah di tempatnya.
Pejaten juga hanya berjarak sekitar 3 km dari Telaga Remis, salah satu wisata andalan di Kuningan. Toilet, sinyal telepon seluler, dan listrik juga tersedia di tempat itu.
Pejaten tidak sendirian menjaga TNGC. Sebelumnya, ada Batu Luhur dan Bukit 1.000 Bintang yang menjadi kawasan wisata sejak 2016. Ratusan pengunjung datang ke sana setiap akhir pekan.
Bahkan, sejumlah perusahaan berlibur di Bukit 1.000 Bintang dengan biaya ratusan ribu rupiah per orang untuk menikmati jalur petualangan hingga hamparan bunga edelweiss jawa (Anaphalis javanica). Di sana, inisiatornya adalah Kelompok Pujangga Manik Batu Luhur yang membangun destinasi wisata sekaligus mencegah api datang dengan patroli dan membuat sekat bakar.
Kerja keras itu juga membuahkan hasil. Balai TNGC mencatat, luas lahan yang terbakar pada 2014 sebanyak 266,034 hektar. Setahun kemudian, luasnya meningkat jadi 666,9 hektar.
Setelah tak ada kebakaran sepanjang 2016, api muncul lagi setahun kemudian. Namun, sekat bakar yang dibuat warga mampu mengurangi luas lahan yang dilahap api. Saat itu, luas lahan terbakar hanya 107 hektar.
Kepala Balai TNGC Kuswandono membuka pintu bagi semua orang untuk menerapkan hal serupa. Saat kebakaran hutan masih mengancam hutan di Sumatera dan Kalimantan, TNGC dan masyarakat Kuningan mampu meminimalkannya.
”Kami berharap kemandirian bersama warga di sekitar TNGC bisa jadi contoh bagi daerah rawan kebakaran lainnya di Indonesia. Intinya, ada pendekatan sosial untuk kepentingan bersama,” ujar Kuswandono.
Piring bersih
Saat Musa sibuk mengangkut ilalang, dari kejauhan tampak asap membubung. Handy talkie di tangan Sidik Kusnadi (43), warga Cikahalang, sekaligus Wakil Ketua Kelompok Jaya Pakuan, berbunyi. Saat itu, Sidik tengah berpatroli bersama polisi hutan menggunakan mobil Balai TNGC.
”Ik, asap itu dari mana? Tolong dicek,” ujar Oom Komarudin (43), Ketua Kelompok Jaya Pakuan, dari sambungan radio.
”Aman. Itu jerami yang dibakar di Cikalahang. Jaraknya lebih 1 kilometer,” jawab Sidik.
Tidak ada kejadian berbahaya saat patroli dilakukan hari itu. Namun, bukan berarti semuanya usai. Sidik mengatakan, hingga tiga bulan ke depan, dirinya masih akan berjaga sampai malam untuk mencegah potensi api membakar hutan.
Serupa dengan banyak anggota kelompok itu, Sidik dulu adalah penggarap hutan Ciremai. Keluarganya menanam singkong dan serai di lahan seluas seperempat hektar. Namun, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai Menjadi Taman Nasional, lahan di Ciremai yang luasnya mencapai 14,96 hektar itu tak boleh digarap sembarangan.
”Awalnya, masyarakat menolak. Namun, kami berpikir, selama ini air untuk kebutuhan warga dan lahan didapat dari hutan di Gunung Ciremai, tapi kok tidak mau menjaganya?” ujarnya.
Agus Yudantara dari Humas TNGC mengatakan, sebelum menjadi taman nasional, kondisi Ciremai mengkhawatirkan. Banyak warga yang menebang pohon dan menanam sayuran hingga ketinggian 2.000 mdpl.
”Akan tetapi, menjauhkan warga juga salah. Warga harus dilibatkan, khususnya dalam pengelolaan pariwisata, agar kesejahteraan hidu mereka terjamin. Jika kawasannya adalah piring, mereka akan menjaga piringnya tetap bersih,” ujarnya.
Geliat alam jelas tak bisa dilawan. Namun, kemauan untuk hidup damai bersama alam bukan mimpi bagi orang-orang yang percaya.