Gili yang Mendadak ”Mati”
Di kesunyian reruntuhan bangunan di Gili Trawangan, Lombok, Nusa Tenggara Barat, terdengar nyaring hantaman benda tumpul. Saat didekati, tampak Benjamin (50), lelaki asal Turki, sibuk memecah puing tembok dengan palu. Sesekali dia mengusap keringat di dahi.
”Saya harus segera membersihkan tembok yang runtuh menutupi jalan agar wisatawan bisa melewati hotel,” kata Benjamin, pemilik hotel Tropika di Gili Trawangan, Minggu (12/8/2018).
Gempa berkekuatan Magnitudo 7,0 yang melanda Lombok, NTB, Minggu (5/8) malam, tidak hanya meluluhlantakkan bangunan dan menelan korban jiwa. Bencana itu juga melumpuhkan aktivitas pariwisata, termasuk di tiga pulau yang menjadi destinasi utama, Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air.
Setelah gempa, setidaknya 8.258 warga negara asing dan domestik meninggalkan tiga gili dengan bantuan tim SAR dan aparat setempat. Sebagian besar mereka adalah wisatawan serta beberapa pegawai dan pemilik usaha jasa wisata.
Namun, ada 61 warga negara asing dan ratusan warga lokal yang bertahan di ketiga pulau. Benjamin bersama 41 warga asing lain memilih tetap di Gili Trawangan. Tiga tahun terakhir, ia mengelola Hotel Tropika.
Gili Trawangan yang biasanya dipadati wisatawan, terutama di pertengahan tahun, mendadak sepi. Jalanan lengang, sejumlah bangunan rusak. Hotel, restoran, dan toko-toko tutup. Riuh aktivitas wisatawan bercengkerama di restoran, berjemur di pantai, snorkeling, dan bersepeda keliling pulau mendadak lenyap. Gili pun mati suri.
Saat gempa melanda, tembok hotel milik Benjamin ambruk ke tengah jalan selebar 3 meter. Tujuh kamar hotel tersebut retak-retak sehingga tidak dapat ditempati.
Benjamin perlu waktu sekitar dua bulan untuk memperbaiki kamar hotelnya yang rusak sehingga bisa melayani tamu. Dia berharap pemerintah membawa alat berat untuk mempercepat pembersihan puing dan ikut membantu membangkitkan perekonomian gili.
”Saya taat membayar pajak kepada pemerintah. Sekarang saatnya pemerintah membantu mengembalikan perekonomian,” ujar lelaki yang sudah 10 tahun tinggal di Gili Trawangan.
Kehilangan penghasilan
Pemilik Bungalow You and Me, Oka Montana (51), mengatakan, pariwisata di Gili Trawangan lumpuh seusai gempa. Tak satu pun wisatawan berkunjung karena akses ke gili ditutup sementara bagi wisatawan. Kondisi ini membuat Oka tidak memiliki penghasilan dalam beberapa waktu ke depan.
Lelaki asal Bandung, Jawa Barat, itu memiliki bungalo dua kamar dan lima sepeda yang biasa disewakan ke wisatawan. Sebelum gempa, Oka bisa memperoleh penghasilan Rp 1 juta per hari di puncak kunjungan wisatawan, Juli-Agustus. ”Biasanya jalanan macet dipenuhi pejalan kaki dan pesepeda, sedangkan bibir pantai penuh dengan wisatawan yang berjemur, sudah kayak pepes,” kata Oka yang sudah 20 tahun membuka usaha di Gili Trawangan.
Ali (47), pemilik perahu motor yang biasa disewakan untuk snorkeling turis, menuturkan, Agustus adalah masa puncak kunjungan wisatawan. Ali bisa memperoleh penghasilan Rp 2,5 juta per hari dari mengangkut 50 turis untuk snorkeling. Namun, gempa membuat potensi pemasukannya sirna.
Warga setempat yang turut merasakan remah aktivitas pariwisata juga kehilangan penghasilan. Supratman (45), penjual aksesori, seperti kacamata dan topi, menyatakan, omzet rata-ratanya Rp 400.000 per hari pada waktu normal.
”Sekarang saya sudah tak ada pemasukan lagi. Apalagi, keluarga tinggal di pengungsian,” ujar warga Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, yang juga menjadi korban gempa.
Pariwisata di Gili Air juga lumpuh. Okto Berlin Sitanggang (44), musisi yang setiap hari menghibur wisatawan di Gili Air, menuturkan, kafe tempatnya bekerja tutup akibat gempa. ”Keahlian saya hanya bermain musik. Jika tidak ada jadwal manggung, terpaksa sementara waktu menganggur,” kata Okto.
General Manager Hotel Vila Ombak Gili Trawangan Mada I Made Cha mengatakan, tidak semua fasilitas di Gili Trawangan rusak berat. Sebagian hanya perlu perbaikan ringan dengan waktu sekitar satu bulan. Namun, perbaikan baru bisa dilakukan setelah ada perhitungan dari asuransi. ”Dari 149 kamar di Hotel Vila Ombak, 80 kamar akan kembali dibuka bulan depan karena kerusakannya tidak terlalu parah,” ucap Made Cha.
Calvin Leonsius, penaksir kerugian independen dari PT Atlas Adjusting Indonesia, mengatakan, survei kerusakan mulai dilakukan pada Minggu (12/8). Ada sekitar 60 bangunan rumah, hotel, dan bungalo yang akan ditaksir kerugiannya.
Setelah proses selesai, pemilik bisa melakukan perbaikan. ”Kami akan mempercepat penaksiran agar wisata di gili segera pulih,” kata Calvin.
Bagi pemilik usaha yang tidak memiliki asuransi seperti Oka Montana, tabungan bakal terkuras untuk mengembalikan kondisi bungalo seperti sedia kala. ”Warga yang berutang untuk membuka usaha akan lebih berat untuk bangkit,” ucap Oka.
Kepala Dinas Pariwisata NTB Lalu Muhammad Faozal menuturkan, pariwisata di tiga gili diperkirakan bisa kembali dibuka secara bertahap pertengahan September. Ada sekitar 40 persen fasilitas wisata, seperti hotel, restoran, dan jasa wisata lain, yang bisa segera beroperasi karena kerusakan tidak parah.
Untuk meyakinkan wisatawan kembali berkunjung ke tiga pulau yang menjadi destinasi wisata tersebut, Faozal akan melakukan promosi di dalam dan luar negeri. Wisatawan perlu mendapat informasi mengenai kondisi Gili yang dapat kembali menyambut kedatangan wisatawan. ”Pembersihan puing akibat gempa akan segera dilakukan agar perbaikan sarana dan prasarana bisa dipercepat,” ucap Faozal.
Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia NTB Dewantoro Umbu Joka mengatakan, evakuasi lebih dari 8.000 wisatawan dari gili berdampak pada matinya pariwisata. Semula, tiap hari ada sekitar 2.000 wisatawan berlibur di Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air. Mereka menghabiskan uang sekitar Rp 5 juta dalam sekali kunjungan sehingga perputaran uang di tiga gili tidak kurang dari Rp 10 miliar per hari.
”Wisatawan tidak berani pergi ke tiga pulau karena khawatir ada tsunami, bukan gempa bumi. Pemerintah perlu meyakinkan dunia internasional bahwa gili aman dari tsunami,” ujarnya.
Pengamanan
Kepala Kepolisian Daerah NTB Inspektur Jenderal Achmat Juri mengatakan, pihaknya mengerahkan 150 personel Polri untuk menjaga Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air 24 jam. Mereka melakukan patroli dan pendataan ke seluruh warga yang keluar-masuk gili. Tujuannya untuk menjaga aset pemilik usaha yang ditinggalkan sementara seusai gempa.
Minggu (12/8), sejumlah personel polisi yang sebagian besar dari Brimob Polda Jawa Tengah terlihat berkeliling pulau dengan sepeda. Sebagian pemilik usaha pun lebih tenang dengan adanya penjagaan pulau yang lebih ketat tersebut. ”Sebelum ada polisi, saya harus bolak-balik lihat lapak karena takut dibobol,” kata Supratman.
Namun, masih ada beberapa pemilik hotel yang khawatir dengan kondisi keamanan setelah gempa. ”Saya diminta bos untuk tetap jaga hotel. Antisipasi saja,” ujar Samsul (24), pegawai Hotel Mala Garden. Sementara Theresa (37), pegawai toko peralatan selam Free Dive, berjaga sembari membersihkan toko.
Demi pertimbangan keamanan, akses penyeberangan ke gili saat ini dibatasi hanya untuk warga gili dan pihak yang berkepentingan, seperti pemilik tempat usaha. Mereka yang menyeberang ke gili dari Pulau Lombok hanya bisa melalui satu pintu di Dermaga Teluk Nara dan harus mendaftar di pos penjagaan untuk mengantisipasi adanya orang yang berupaya melakukan kejahatan. ”Ada empat pos di tiap pulau yang akan mendata orang yang masuk dan meninggalkan Gili,” ucap Achmat. (ILO/SYA/RUL)