Jumaidi dan Pengorbanan Sang Ayah
Jumaidi satu-satunya penumpang pesawat Dimonim Air yang lolos dari maut. Hal itu berkat pengorbanan ayahnya, Jamaluddin. Namun, sang ayah tewas dalam musibah ini.
Wajah Muhamad Jumaidi (12), Senin (13/8/2018), saat ditemui di Rumah Sakit Bhayangkara, Jayapura, tampak pucat. Lehernya dipasangi penyangga. Peralatan infus dan alat monitor kesehatan pun tetap tertempel pada tubuhnya. Jumaidi adalah satu-satunya korban yang selamat dalam jatuhnya pesawat maskapai Dimonim Air di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, Sabtu (11/8/2018).
Jumaidi lolos dari maut berkat bantuan ayahnya, Jamaluddin, yang juga ikut dalam penerbangan dari Tanah Merah, Kabupaten Boven Digoel, menuju Oksibil, ibu kota Pegunungan Bintang, Sabtu pukul 13.40 WIT. Saat pesawat menabrak gunung akibat cuaca buruk, sang ayah memeluk erat Jumaidi. Pesawat pun terpental dan jatuh di antara pohon-pohon. Jumaidi tetap dalam pelukan erat ayahnya. Jamaluddin membuka pintu pesawat dan keduanya melompat keluar. Namun, sang ayah malah tewas.
Berdasarkan informasi dari tim medis, Jumaidi mengalami patah tulang pada lengan kanan, cedera ringan di kepala, dan dugaan cedera pada tulang panggul. Jumaidi untuk sementara waktu kesulitan berjalan. Ada dua petugas medis dari RS Oksibil, yakni Herman dan Andre Tukan, yang ditugaskan untuk mendampingi Jumaidi hingga di RS Bhayangkara Jayapura.
Kepada Andre, Jumaidi menceritakan bahwa saat itu, dia dan ayahnya sebetulnya hendak pulang ke Oksibil setelah mengunjungi Herman, adik kandung Jamaluddin, di Tanah Merah. Ketika berangkat, kondisi cuaca masih cerah. Namun, menjelang tiba di Oksibil, pesawat yang mengangkut tujuh penumpang itu dihadang kabut tebal. Jarak pandang pun semakin pendek.
”Tiba-tiba ada bunyi alarm tanda bahaya. Pesawat tetap terbang dan semakin dekat dengan gunung. Melihat situasi memburuk, ayahnya memeluk Jumaidi. Pesawat pun menabrak gunung dan pohon. Ayahnya membuka pintu dan keduanya melompat keluar dari pesawat. Jumaidi selamat, tetapi ayahnya tidak,” ujar Andre.
Saat keduanya melompat keluar pesawat, Jamaluddin mendekap erat Jumaidi untuk melindunginya dari terkena pohon, badan pesawat, batu, dan lainnya. Keduanya melompat dari ketinggian sekitar 20 meter.
Bertahan 17 jam
Begitu jatuh di tanah, Jumaidi sempat tidak sadarkan diri. Setelah sadar, dia mengaku merasa haus. Jumadi kemudian bangun dan berjalan tertatih-tatih di antara puing pesawat mencari air mineral yang mungkin masih ada. Dia menemukan sebotol air mineral dan sebuah apel. Itulah menjadi andalannya untuk bertahan hidup.
Selama 17 jam lamanya dia menahan rasa sakit dan dingin di Gunung Menuk. Lokasi itu berada pada ketinggian 1.978 meter di atas permukaan laut. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu hanya meringkuk di bawah ekor pesawat.
Saat pesawat jatuh, warga di sekitar Kampung Okatem di kaki Gunung Menuk mendengar ledakan yang cukup besar. Ada yang meyakini terjadi kecelakaan pesawat. Begitu mendapat kabar soal hilangnya pesawat Dimonim, warga langsung mencari. Jelang malam, pencarian dihentikan dan dilanjutkan esok hari.
Minggu sekitar pukul 08.30 WIT, lokasi jatuhnya pesawat ditemukan warga serta tim penyelamat yang terdiri dari anggota Koramil 1702-01 Oksibil, Polres Pegunungan Bintang, tim SAR Jayapura. Mereka juga menemukan Jumaidi yang masih bernyawa. Tim menempuh perjalanan dari Oksibil ke Kampung Okatem, kampung di kaki Gunung Menuk yang posisinya paling dekat dengan lokasi itu.
Perjalanan dari Okatem harus mendaki Gunung Menuk sekitar dua jam sebelum tiba di titik jatuhnya pesawat. Anggota Koramil Oksibil Sersan Satu Steni Walalohun bersama sejumlah warga menemukan Jumaidi di sekitar puing ekor pesawat. Jumaidi hanya mengenakan kaus di tengah cuaca bersuhu di bawah 5 derajat celsius.
Komandan Distrik Militer 1702/Jayawijaya Letkol (Inf) Lukas Sadipun mengatakan, Jumaidi sangat tangguh. Dia terlihat tegar meski mengalami peristiwa berat ini dan masih berkomunikasi dengan tim penyelamat.
Pesawat yang dipiloti Kapten Leslie Sevuve dan Kopilot Wayan Sugiarta itu mengangkut tujuh penumpang. Penumpang lainnya adalah Sudir Zakana, Martina Uropmabin, Hendrikus Kamiw, Lidia Kamiw, dan Naimus.
Kapten Stanis Gunawan, salah satu pilot pesawat perintis di Papua, mengungkapkan, perubahan cuaca di Papua dapat terjadi dalam hitungan sepersekian detik. Salah satu daerah dengan kerawanan cuaca seperti itu adalah Pegunungan Bintang. Ini sebabnya kawasan tersebut boleh dibilang sebagai jalur neraka bagi penerbangan di Papua.
Namun, apa pun risikonya, kondisi tersebut harus dihadapi karena jalur udara menjadi satu-satunya andalan untuk bisa menghubungkan antarwilayah di Papua. Sementara jalur darat baru dirintis pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, ini pun belum menghubungkan ke semua wilayah Papua.
Jalur transportasi itulah yang menjadi persoalan serius yang wajib ditangani pemerintah. Hanya itulah yang bisa membuka isolasi dan akses ekonomi.