YOGYAKARTA, KOMPAS - Perekonomian desa dapat tumbuh dan maju lewat gotong royong, yakni jika pemerintah, akademisi, dan dunia usaha bersama-sama mengintervensi desa menjadi produktif. Angka kemiskinan bisa ditekan karena warga desa mampu mengelola potensi sehingga menguntungkan mereka.
Rika Fatimah, Tenaga Ahli Gerakan Gotong Royong (G2R) Tetrapreneur, mengatakan, budaya gotong royong hidup di masyarakat. Tantangannya adalah memanfaatkan nilai itu agar tidak berhenti pada aksi sukarela dan menjadikan aktivitas produktif.
Dalam diskusi di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat DIY, Yogyakarta, Selasa (14/8/2018), Rika menyatakan, Indonesia memiliki keragaman budaya yang berpotensi menyejahterakan masyarakat. Hal itu bisa berwujud makanan, minuman tradisional, atau kerajinan. Yang harus dilakukan adalah mengemas dan menjadikannya sebagai produk yang unik dan menarik. Peluang makin besar dengan adanya fenomena ”desa global”. Ketika batasan antara waktu, wilayah, bahasa, dan lainnya makin memudar, segala produk pasti akan ada pembelinya asalkan unik dan berciri khas.
Desa Wukirsari dan Desa Girirejo di Imogiri, DIY, dipilih untuk menerapkan program G2R. Wilayah tersebut termasuk wilayah warisan budaya yang dilindungi Pemerintah DIY.
Menurut Rika, dalam konteks berwirausaha, desa dapat produktif dengan dukungan pilar lain, yakni pemerintah, akademisi, dunia usaha, dan masyarakat. Pendampingan terhadap masyarakat desa harus dilakukan secara berkelanjutan.
Memaksimalkan potensi
Mengingat tujuannya untuk membuat desa menjadi mandiri, hal utama yang harus dilakukan adalah membuat produk yang bahannya tersedia di desa.
Selanjutnya, pemasaran harus dilakukan dengan cara yang ramah terhadap produk desa. Pemasaran kerap menjadi momok bagi masyarakat desa karena mereka tidak memiliki akses ke pasar. ”Di sini peran dunia usaha. Mereka melakukan pendampingan dengan menjamin terbelinya produk yang dibuat oleh masyarakat desa sambil memberi masukan terkait produk. Dengan demikian, warga desa akan belajar tentang standardisasi dan rantai pasok,” kata Rika.
Ketua BUMDes Mahanani, Desa Girirejo, Parijan mengatakan, pihaknya kesulitan mencari pasar dari produk yang dihasilkan. ”Kesulitan kami adalah menentukan pasar. Kami juga perlu masukan soal standardisasi produk. Kami mau berbenah sesuai keinginan pasar,” katanya.
Produk Desa Girirejo berupa keripik pisang dan wedang uwuh. Kedua produk dikemas dengan desain menarik. Hanya saja, penyebarluasan informasi kedua produk ke sektor dunia usaha kurang optimal.
Finance Controller Hotel Royal Ambarrukmo Monik Nissrina yang hadir dalam acara itu menyatakan bersedia membantu memasarkan produk-produk Desa Girirejo. Ia akan menautkan produk lokal dengan program perusahaannya. Syaratnya, produk itu mengikuti aturan standar produk pangan yang ditentukan pemerintah.
”Menarik sekali produk dari desa ini. Untuk wedang uwuh, welcome drink hotel kami menggunakan minuman tradisional. Ini bisa kami tindak lanjuti ke depan,” kata Monik. ”Peluangnya sangat terbuka. Hanya saja, harus sesuai dengan izin dan aturan tentang produk pangan.”
Hal serupa dikatakan Asisten Manajer Pamella Supermarket Wildan Zia. Ia bersedia memajang produk-produk desa di swalayan yang dikelola asal sudah mengikuti aturan izin edar pangan yang ditetapkan pemerintah.
Wildan menambahkan, hal yang tak kalah penting adalah komitmen untuk terus memproduksi. Selama ini, ada kecenderungan penurunan produksi justru ketika usaha desa sudah mapan dan memiliki pasar.
”Kami dari industri butuh kepastian tentang pasokan. Kekhawatiran kami adalah ketika nanti kami membutuhkan pasokan produk, mereka justru tidak produksi. Biasanya, alasannya adalah ada acara keluarga yang membuat mereka harus meliburkan diri,” kata Wildan. (NCA)