MAGELANG, KOMPAS — Banyak daerah belum bisa melepaskan diri dari tekanan dunia industri. Hal inilah yang kemudian membuat daerah-daerah tersebut masih berat untuk membuat peraturan daerah yang mengatur tentang kawasan tanpa rokok.
”Salah satu alasan yang sering dikemukakan oleh pemerintah daerah yang belum membuat perda KTR (peraturan daerah kawasan tanpa rokok) adalah mereka khawatir perda KTR akan membuat hubungan dengan industri rokok kurang bagus, yang nantinya juga dikhawatirkan berdampak pada penurunan PAD (pendapatan asli daerah),” tutur Media Network and Communication Officer Muhammadiyah Tobacco Control Center Universitas Muhammadiyah Magelang (MTCC UMM) Rochiyati Murni N, Senin (20/8/2018).
Perda KTR semestinya dibuat oleh setiap daerah, kota/kabupaten, karena merupakan bagian dan amanat dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Saat ini, MTCC UMM mendampingi 20 kota/kabupaten di Jawa Tengah, dengan target dari upaya pendampingan adalah agar 20 kota/kabupaten tersebut memiliki perda KTR. Namun, sejauh ini, dari ke-20 daerah itu, hanya satu kabupaten, yaitu Pati, yang memiliki perda KTR.
Selain itu, ada sembilan kota/kabupaten yang sudah menuangkan aturan tentang KTR hanya dalam peraturan bupati atau wali kota. Peraturan itu pun tidak berdiri sendiri dan hanya bernaung di bawah peraturan tentang ketertiban umum.
Menurut dia, ketergantungan dalam hal PAD, menurut keterangan dari pihak pemerintah daerah, adalah karena industri rokok memberikan sumbangan besar dalam hal pajak reklame. Ditambah lagi, industri rokok juga kerap memberikan sumbangan besar, menjadi sponsor atau penyokong dana untuk ajang kompetisi olahraga, pentas musik, dan pentas seni budaya lainnya.
Semua hal tersebut, menurut Rochiyati, semestinya tidak masalah dan bisa ditepiskan dengan sikap dan ketegasan dari pihak pemerintah serta pengampu kebijakan di daerah, baik dari kalangan legislatif maupun eksekutif.
”Parahnya, banyak pengambil kebijakan, penentu ditetapkannya perda, yaitu kalangan anggota Dewan, adalah perokok sehingga otomatis juga khawatir perda KTR akan membatasi perilakunya untuk merokok,” ujarnya.
Program Manager MTCC UMM Mufti Ferika Dianingrum mengatakan, tidak sekadar mengatur kawasan mana yang boleh menjadi area merokok dan tidak, perda KTR juga sangat dibutuhkan untuk mengatur perihal pemasangan iklan, reklame merokok, yang selama ini cenderung dibiarkan bebas, berdiri dalam bentuk baliho di jalan-jalan protokol.
”Sejumlah survei dan tinjauan di lapangan, maraknya iklan rokok menjadi gambar visual yang akhirnya memancing, menarik minat orang, khususnya kalangan muda, termasuk anak-anak, mulai mencoba menjadi perokok pemula,” lanjutnya.
Dalam survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004, sebanyak 46,3 persen remaja menyebutkan iklan memiliki pengaruh besar untuk memulai merokok dan 41,5 persen remaja berpendapat keterlibatan industri rokok untuk menjadi sponsor dalam berbagai acara berpengaruh dalam perilakunya untuk memulai merokok.
Dari pengecekan langsung di lapangan, perilaku RF (2), seorang anak balita di Sukabumi, Jawa Barat, yang menjadi pencandu rokok, diakui oleh orangtuanya berawal dari sering dan senangnya dia melihat iklan rokok di sejumlah tempat.