JAMBI, KOMPAS - Dari 270 konflik tenurial (penguasaan lahan) yang tersebar di banyak daerah, 137 kasus di antaranya masih menunggu penyelesaian. Skema kemitraan dan perhutanan sosial dibuka untuk mengakhiri konflik.
Kepala Sub-Direktorat Penanganan Konflik Tenurial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ari Sugasri mengatakan, konflik tersebar paling banyak di Jambi dan Riau. Saat ini, 133 kasus sudah dinyatakan selesai dan diarahkan masuk ke konsep perhutanan sosial.
Sementara itu, 90 kasus lain masih dalam proses penyelesaian dan 47 kasus dikembalikan kepada pemohon karena dokumen pendukung belum lengkap (33 kasus) dan ada konflik yang ternyata masuk area penggunaan lain (14 kasus). ”Konflik itu berupa klaim penguasaan atau perselisihan atas lahan,” ujar Ari di Jambi, Senin (20/8/2018).
KLHK mendorong tim-tim penyelesaian konflik yang telah dibentuk di daerah agar betul-betul mengawal upaya penyelesaian konflik. Tim diminta mengimplementasikan kesepakatan para pihak berkonflik secara seimbang.
Direktur Usaha Hutan Produksi KLHK Istanto menambahkan, dari 293 kawasan yang berstatus hutan tanaman industri (HTI), konflik terjadi pada 90 area konsesi (30,7 persen) dari jumlah HTI. Konflik yang dimaksud berupa tumpang tindih perizinan, penguasaan lahan oleh masyarakat, dan klaim tanah adat.
Menurut Istanto, kebijakan mendorong penyelesaian bukan berarti meniadakan penegakan hukum. Pihaknya mendorong penegak hukum agar tetap memproses para perambah bermodal besar. ”Upaya penegakan hukum tetap bisa dilakukan karena ada cukong-cukong di belakang klaim lahan,” katanya.
Ia mencontohkan, ada temuan klaim lahan seluas 10.000 hektar oleh 600 warga di areal konsesi HTI PT Lestari Asri Jaya (LAJ). Artinya, satu warga menguasai lebih dari 15 hektar. Penguasaan lahan seluas itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh petani kecil.
”Tim perlu mengidentifikasi sebenarnya siapa di balik penguasaan lahan tersebut,” ujarnya.
Tim resolusi konflik
Senin kemarin dibentuk tim resolusi konflik tenurial di konsesi PT LAJ dan Wanamukti Wisesa (WW). Luas areal konsesi dua perusahaan yang mencapai 70.000 hektar saat ini telah dirambah secara liar oleh ribuan pendatang sejak 2010.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Erizal mengakui upaya penyelesaian konflik, yang semestinya dilakukan sejak awal, baru sekarang dilakukan. Namun, pihaknya optimistis penyelesaian akan cepat selesai.
”Data awal akan kami olah untuk memetakan kondisi
sebenarnya. Setelah itu dilakukan langkah penyelesaian,” katanya.
Ketua Lembaga Adat Melayu Kabupaten Tebo Adi Zahrudin mendesak perusahaan agar berkomitmen menyelesaikan konflik. Menurut dia, sebelum ini, sudah ada kesepahaman penyelesaian konflik, tetapi tidak direalisasikan. ”Sudah pernah ada kesepakatan. Tetapi, ketika pengelola konsesi berganti orang, kesepakatan mundur lagi,” kata Adi.
Hasil studi Wanaaksara Institute pada 18 dusun di sekitar areal dua konsesi itu mendapatkan 92 potensi kasus berupa perambahan untuk membuka kebun karet dan sawit, permukiman, pembalakan liar, jual beli lahan, klaim hutan adat, serta konflik dengan satwa.
Direktur PT LAJ dan WW Meizani Irmadhiany mengapresiasi terbentuknya tim resolusi konflik tenurial di area konsesi perusahaannya. Ia bersedia jika setengah area kelolanya dimitrakan dengan warga melalui penanaman karet dan tanaman kehidupan. (ITA)