Pawai TK di Probolinggo, Inilah Pernyataan GP Ansor Probolinggo
Oleh
Dahlia Irawati
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Ketua GP Ansor Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Muchlis, menyerukan agar semua pihak menahan diri untuk tidak menarik-narik kasus kontroversi pawai TK Kartika V-69 ke berbagai kepentingan. Masyarakat harus memperhatikan perasaan dan kepentingan anak-anak TK tersebut yang dinilai lebih penting dari sekadar atribut yang mereka kenakan.
GP Ansor menjadi salah satu ormas yang turut mengikuti klarifikasi Kepolisian Resor Probolinggo Kota terhadap Kepala Sekolah TK Kartika V-69, Dandim 0820, panitia pawai, dan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Probolinggo. Muchlis menyimpulkan dan mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:
Membiarkan para pihak melakukan observasi dan sanksi atas kelalaian yang menyebabkan kehebohan itu.
Meminta semua pihak menahan diri atas kasus tersebut agar kasus itu tidak ditarik-tarik ke politik. Sebab, isu tersebut dinilai sensitif.
Memberikan waktu kepada Dinas Pendidikan dan yayasan untuk memberikan sanksi atas kelalaian itu.
Memastikan bahwa niat polisi untuk memolisikan pengunggah video adalah hoax.
Meminta semua pihak menahan diri karena ada anak-anak dan orang tua di sana yang lebih penting daripada atribut-atribut yang diributkan.
”Ada kepentingan dan perasaan anak-anak yang jauh lebih penting dibandingkan dengan atribut yang dikenakannya. Mereka tidak tahu apa-apa. Jika ini terus dilanjutkan, sangat mungkin anak-anak itu juga yang bakal terdampak atas kasus kontroversi ini,” kata Muchlis.
Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof Syamsul Arifin mengatakan, kasus kehebohan karnaval TK di Probolinggo harus dipandang dan disikapi bijak oleh semua pihak. Sebab, realitas di dunia maya (media sosial) terkadang tidak sama persis dengan bayangan orang serta realitas sosial di dunia nyata.
”Dalam kasus karnaval TK di Probolinggo, dari sebuah unggahan di media sosial, semua pihak akhirnya memiliki gambaran kekhawatiran atas hal-hal intoleran yang meluas pada spektrum ancaman radikalisme. Deteksi dini atas sikap-sikap intoleran dan radikalisme harus dilakukan. Namun, bukan berarti kekhawatiran itu boleh berlebihan dan menjadi paranoid sehingga adanya simbol-simbol yang diidentikkan dengan hal-hal di atas lalu dipandang sebagai ketakutan yang menjadi nyata,” kata Syamsul.
Masyarakat pun, menurut pakar terorisme UMM tersebut, diharapkan menjaga sensitivitas dengan tidak menggunakan simbol-simbol yang diasosiasikan dengan terorisme, yang saat ini sedang diperangi oleh bangsa Indonesia.
”Intinya, semua pihak harus bijak. Bijak dalam mengunggah segala sesuatu di medsos yang bisa memicu kontroversi, bijak dalam menyikapi realitas media sosial, dan bijak dalam hidup bersosial,” katanya.
Sosiolog Universitas Brawijaya Malang Haris El Mahdi berharap bangsa Indonesia belajar untuk menyikapi segala persoalan tidak dengan reaksioner.
”Kita harus belajar menjadi bangsa yang hati-hati. Berhati-hati dalam mengunggah hal-hal di media sosial, dan berhati-hati untuk tidak mudah terpancing informasi di media sosial sehingga malah mengganggu stabilitas masyarakat. Saya rasa, masyarakat Indonesia semakin pintar dan berhati-hati untuk tidak terus terjebak dalam realitas dunia maya,” katanya.
Kehebohan pawai karnaval Hari Kemerdekaan Ke-73 RI di Kota Probolinggo terus bergulir hingga Senin (20/8/2018). Semua pihak diminta bijak dalam memandang dan menyikapi kasus tersebut sehingga tidak mengancam stabilitas masyarakat.
TK Kartika V-69 adalah TK yang disorot di media sosial sebab dalam pawai kemerdekaan itu justru mengambil tema yang dinilai kurang pas. Mereka menyeragami siswa dengan cadar dan baju hitam-hitam serta memberikan properti senjata laras panjang pada anak-anak TK tersebut.
Hasil penyelidikan Polres Probolinggo Kota menemukan bahwa di media sosial terjadi distorsi informasi dari pawai tersebut. Dalam video utuh pawai tersebut, terlihat TK Kartika V-69 mengambil tema perjuangan Rasulullah.
Ada berbagai adegan di sana, mulai dari barisan prajurit membawa bendera merah putih, kereta kuda Raja Salman, Kabah, unta, dan barisan prajurit Arab (berbaju hitam dan bercadar serta membawa senjata).
Dari seluruh rangkaian iring-iringan itu, unggahan di media sosial hanya ditampilkan prajurit berbaju hitam dan bercadar saja. Hal itu membuat heboh media sosial sehingga dinilai sebagai upaya pengenalan radikalisme sejak dini.